Senin, 16 November 2009

MENELADANI AKHLAK RASULULLOH SAW.


Muhammad s.a.w. adalah sosok mengagumkan, bukan hanya diakui oleh pengikutnya sendiri, bahkan orang-orang non muslimpun mengakui pengaruhnya di urutan pertama diantara tokoh dunia sepanjang masa. Dia adalah pribadi yang paripurna baik secara pribadi namun juga sebagai pemimpin keluarga, ummat, sampai kepada panglima perang dan negarawan yang sangat memukau.

Kepribadian yang sempurna yang dimiliki Nabi Muhammad s.a.w. sempat menjadi pertanyaan sahabatnya dengan jawaban singkat dari Aisyah r.a. bahwa “Akhlak Nabi adalah akhlak Al-Quran” (kaanakhuluhul quran). Artinya, keseluruhan sepak terjang Nabi s.a.w. dalam kehidupannya bersumber dan cermin dari Al-Quranul Karim. Beliau tidak pernah bertindak berdasarkan hawa nafsunya (wamaa yanthiqu ‘anil hawa inhuwa illaa wahyuyyuuhaa…).

Muhammad s.a.w. adalah pribadi yang menawan, menentramkan, menakjubkan, cerdas, jujur, penyayang, sabar, rendah hati, pemberani, tegas, sopan, qona’ah, tawakkal, pendamai, toleran, adil, bijaksana, disiplin, tegar, berwibawa, sederhana, pemaaf, rela berkorban, ikhlas, lebih mementingkan orang lain dan kemulian-kemuliaan pribadi yang sulit diungkap dengan lisan kita. Kini, ummat Islam haus dengan contoh seperti itu. Sekali lagi, ummat Muhammad s.a.w. sendiri merasakan kesulitan untuk bisa menemukan akhlak yang tinggi seperti itu. Padahal di tangannya, untuknya, kepada ummatnya Al-Quran diberikan untuk menjadi pedoman hidup dan kehidupannya. Bahkan Al-Quran diperuntukan bagi segenap manusia sebagaimana firman Alloh dalam Al-Quran.Surat Al-Baqarah ayat 185 yang artinya: “… Aku turunkan Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)…”

Dengan demikian, selayang pandang dapat kita katakan bahwa jika ada pendapat yang menyebutkan bahwa kita akan sulit meneladani Nabi Muhammad s.a.w. itu artinya kita tidak banyak bergaul dengan Al-Quran. Fikiran dan perasaan kita tidak dihiasi dengan kalimat-kalimat Alloh swt yang tertera dalam Al-Quranul Karim. Pijakan kita tidak lagi banyak dipengaruhi oleh Al-Quran, walaupun kita tetap yakin bahwa Al-Quran adalah wahyu Alloh yang tidak diragukan kebenrannya. Al-Quran sekedar diyakini namun tidak dijadikan rujukan dalam bersikap, berfikir dan bertindak. Seolah kita telah mampu merawat alam dan lingkungan sosial dengan cara kita sendiri sehingga hawa nafsu kita lebih unggul dibanding dengan Al-Quran. Rasululloh saw bersabda: “Tiadalah kamu beriman sehingga perilaku hawa nafsumu sesuai dengan tuntunan ajaran yang aku bawa” (HR. Ath-Thabrani). Allah SWT berfirman yang artinya; Katakanlah: aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah: "Apakah sama orang yang buta dengan yang melihat?" Maka Apakah kamu tidak memikirkan(nya)?" (Al-An-am : 50).

Sosok Nabi saw. adalah sosok yang total bersikap dan berbuat berdasarkan wahyu Alloh swt. Seperti halnya firman Alloh pada Q.S. Yunus ayat 15 sebagai berikut yang artinya: dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan Pertemuan dengan Kami berkata: "Datangkanlah Al Quran yang lain dari ini atau gantilah dia". Katakanlah: "Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat)".

Keberserahan Nabi Muhammad kepada wahyu disebabkan keyakinannya kepada kebenaran dan bimbingan, petunjuk dan solusi kehidupan bagi ummat manusia. Nabi menyadarinya bahwa sebelum datang Al-Quran kepadanya, ia adalah orang biasa yang tidak memahami dan apalagi menemukan jalan keluar bagi perbaikan dan peningkatan peradaban manusia. Nabi tidak tahu banyak tentang alam, lingkungan, tumbuhan, hujan, kenikmatan, kisah para nabi yang sempurna, ilmu tentang janin dan permulaan penciptaan manusia, ilmu tentang permulaan terbentuknya alam raya ini, akhlak dan pola hidup bermasyarakat, tata cara jual beli, berpemerintahan, bernegara, berkeluarga, kematian, hidup setelah mati dan sebagainya. Semua ilmu itu Nabi saw peroleh dari wahyu yang secara sempurna kini tercakup dalam Al-Quranul Karim. Alloh menyatakan dalam Q.S. Yusuf ayat 3 yang artinya: Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al Quran ini kepadamu, dan Sesungguhnya kamu sebelum (kami mewahyukan) nya adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui.

Oleh karena itu, pribadi Nabi saw adalah pengejawantahan dari Al-Quran. Itulah pernyataan Asiyah r.a. ketika ditanya tentang akhlak dan pribadi Nabi Muhammad saw., dia menjawab, "Akhlaknya adalah Al Qur'an." (HR. Abu Dawud dan Muslim). Nabi saw begitu bangga dengan Al-Quran karena baginya ia adalah laksana surat cinta pemusnah rindu kepada Alloh saw. Sehingga beliau saw. Bersabda, “Apabila seorang ingin berdialog dengan Robbnya maka hendaklah dia membaca Al Qur'an.” (Ad-Dailami dan Al-Baihaqi).

Ramadhan datang kepada kita dengan segala tawaran untuk kemuliaan manusia yang semestinya. Bahkan shaum yang dilaksanakan oleh kaum musliminpun semata-mata untuk mambantu manusia menjadi makhluk yang bersanding di sisi Alloh swt kelak di akhirat (Q.S. Al-Hujuraat : 13) , karena dengan shaum kita bisa meraih ketakwaan (Q.S. Al-Baqarah : 183). Dan ketakwaan hanya akan diperoleh melalui pengkajian dan pengamalan Al-Quranul Karim (Q.S. Al-Baqarah : 2). Oleh karena itu, muslim yang dalam benaknya tidak bersisa ayat-ayat suci Al-Quran merupakan muslim yang berjalan dengan menggunakan dirinya saja yang seolah sangat mengerti tentang alam raya dan kehidupan segala makhluk. Dalam hal ini, Rasulullah saw bersabda bahwa “Orang yang dalam benaknya tidak ada sedikitpun dari Al Qur'an ibarat rumah yang bobrok” (Mashabih Assunnah). Akhirnya, mudah-mudahan Alloh swt membuat kita istiqomah dalam menjalankan Al-Quran dalam kehidupan sehari-hari. Amiin.

KELUARGA TELADAN SEPANJANG MASA

Maha Besar Allah, Dzat Yang tiada henti mencurahkan nikmat tanpa perhitungan kepada segenap makhluk. Dzat Yang kepada-Nya akan kembali seluruh makhluk. Sehingga tak layak bagi seorang takabur dalam bentuk kemalasan menghambakan diri secara utuh, total di sepanjang hayat KAANA HAYAATUNAA KULLUHAA ‘IBADAH. Pada saat yang berbahagia ini, wajib kiranya kita panjatkan syukur atas semua yang telah Allah SWT berikan kepada kita selama ini. Suka duka dan pahit manisnya kehidupan tidak lebih sekedar ujian dari-Nya yang bertujuan untuk melihat siapa diantara kita yang paling baik amalnya LIYABLUAKUM AYYUKUM AHSANU ‘AMALA. Barangkali kita pernah letih atas berbagai kesulitan hidup yang kian hari kian menguras tenaga dan fikiran yang mungkin pula sedikit demi sedikit mempengaruhi, mengurangi atau bahkan na’uudzubillah dapat merusak iman.

Di saat kehidupan berbangsa dan bernegara yang bergolak diiringi dengan beragam persoalan yang tidak kunjung padam kita khawatirkan satu hal yang justru bakal mengusik keberagamaan kita. Kita khawatir akan perubahan sosial yang tidak terkendali yang eksesnya terasa dalam kehidupan keluarga bahkan kehidupan individu. Bahkan kerusakan dan bencana alam yang akhir-akhir ini menimpa beberapa saudara-saudara kita baik meletusnya gunung, bencana alam banjir dan terjadi longsor semua itu menambah rumit persoalan yang kita hadapi. Akankah semua ini dapat dilalui dengan selamat dengan mendulang berkah Allah SWT. Kita khawatir kesulitan-kesulitan itu tidak mempengaruhi nilai penghambaan kita dihadapan Allah SWT, kita khawatir iman tak beranjak naik, bahkan kita khawatir mendapat dosa dari kesulitan-kesulitan itu. Do’apun kita layangkan keharibaan Allah, Dzat yang selama ini selalu kita anggap sebagai sumber penyelesaian masalah, Dzat yang selama ini kita anggap sebagai penolong segala persoalan, Dzat yang selama ini kita agungkan melalui ibadah ritual, namun kesulitan tidak pula berakhir, ketenangan yang hakiki begitu sukar dimiliki.

Melalui Hari Raya ‘Iedil Adha setiap tahun kita diingatkan akan sosok Ibrahim a.s. beserta keluarganya. Ujian hidup yang dialaminya, boleh jadi lebih berat jika dibandingkan dengan yang kita rasa selama ini. Hidupnya senantiasa dihiasi dengan persoalan-persoalan yang pedih, letih, mencemaskan dan bahkan membahayakan jiwa raganya. Dialah, Nabi yang menentang ayahnya si pembuat berhala. Dialah, Nabi yang dibakar hidup-hidup oleh kaumnya. Seorang yang bercita-cita memiliki anak yang menjadi penerus perjuangannya. Nabi yang dengan sabar terus mendekatkan diri kepada Allah SWT dalam do’a-do’anya. Nabi yang dengan “tega” menyembelih anaknya sendiri. Nabi yang benar-benar berserah diri kehadirat Rabbul ‘izzati. WAIDZIBTALAA IBRAAHIIMA RABBUHUU BIKALIMATIN FA-ATAMNAHUNNA

“Dan ingatlah ! Ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan). LALU IBRAHIM MENUNAIKANNYA” (Q.S. Al-Baqarah : 2).

Ibrahim adalah seorang yang teguh dalam menegakkan kebenaran al-hanif dan memperjuangkannya dengan cara yang benar pula. Ibrahim tidak mencampuradukkan perjuangannya dengan kemusyrikan, kebatilan dan kesalahan –kesalahan lainnya yang merugikan bahkan dapat mencelakakan fihak lain walaa talbisul haqqa bil baathil. Dia kendalikan hawa nafsu, egoitas, kepicikan, kelicikan dan kemunafikan dalam dirinya karena dia sadar bahwa segala apa yang ada di dunia adalah milik Allah. Apapun kesulitan hidup yang dialaminya dikemasnya sebagai kenikmatan dan kasih sayang dariNya. Rasulullah SAW bersabda tidak semata-mata Allah memberikan musibah kepada seorang hamba, kecuali Allah akan memberikan derajat yang tinggi kepada hambanya itu atau Allah akan mengampuni dosa-dosanya”.

Tauhid menjadi visi dan misi Ibrahim a.s. dalam hidupnya. Keyakinan akan eksistensi Dzat Tuhan begitu melekat dalam jiwanya. Sejak remaja hingga tua renta, tauhid inilah yang menjadi penawar rindu, penyelamat jiwa dan raga serta pembuat ketegaran bersikap dan beraktivitas dalam masyarakatnya. Tauhid pulalah yang menjadi didikkan utama dalam keluarganya. Laa tusyrik billaah. Ibrahim a.s. ialah seorang ayah yang menyinari keluarganya dengan nilai-nilai uluhiyah, nilai yang mengajak serta seorang untuk secara total berserah diri kepada Penguasa, Pemilik dan Pemelihara Segala makhluk, Allah swt. Kepasrahan akan qudrat dan iradat Allah swt terpancar dari istri dan anaknya. Betapa peristiwa Qurban adalah bukti ketawakkalan mereka. Peristiwa yang sangat terkenal yang menyebabkan kita saat ini berkumpul dan beramal. Seperti yang tercantum dalam Al-Quran Surat Ash-shaffat ayat 102 – 107.

“Maka tatkala anak itu baligh berusaha bersama-sama Ibrahim. Ibrahim berkata; Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu? Ia menjawab, Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan Tuhan kepadamu, InsyaAllah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar. Dan kami panggil dia, Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu benar yang wajib dilaksanakan, sesungguhnya demikian kami memberikan balasan kepada orang yan g berbuat baik. Sungguh ini benar-benar ujian yang nyata; dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar”.

Itulah Ibrahim a.s. yang senantiasa lurus dalam niat untuk lillaahi ta’ala, dapatkah menjadi inspirasi di kehidupan kita. Kehidupan yang tengah galau dalam menentukan langkah dan prioritas. Tauhidullah setiap saat terbelenggu oleh hawa nafsu dan keserakahan. Daya pasrah tawakkal ‘alallah kian menjauh dari sikap hidup. Sabar dan syukur menjadi dua aspek ajaran sebatas kata tanpa menyentuh keberadaan dan kekuasaan Allah swt. Do’a yang dipanjatkan hanya bagian dari cara menempuh keinginan pribadi dan bukan media lebih mendekatnya dia kepadaNya... Kebahagiaan selalu dicari sementara ketenangan hidup menjadi dambaannya namun sumber-sumber kebahagiaan dan ketenangan tidak pernah dikunjungi dan ditekuni. Kecemasan, kekecewaan dan kekalutan fikiran dan perasaan hinggap silih berganti karena iman dibiarkan kering dalam jiwa. Man aamana billaahi walam yalbisu iimaanahum bizhulmin faulaaikahumul amnu “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan tidak mencampur adukkan keimanannya dengan kezhaliman pada dirinya maka merekalah orang-orang yang mendapatkan keteangan” Sehingga wajar jika kemudian Allah swt bertanya kepada kita : FAINA TADZHABUUN “kemana kalian akan pergi padahal semua kita akan kembali kepada-Nya WAILAHI TURJA’UUN. Padahal kita telah diberinya nikmat yang sangat banyak INNAA A’THAINAA KAL KAUTSAR. Yang tidak pernah dapat dihitung wain ta’udduu ni’kmatallaahi laa tuhshuuhaa. Kita lebih mengkhawatirkan hidup miskin di dunia dan seringkali lupa kekayaan apa yang telah dipersiapkan untuk kehidupan kekal di sana. Kita sering merasa apa yang ada pada kita adalah milik kita … Kita kadang lengah untuk memanfaatkan seluruh amanatnya dengan benar sesuai dengan kehendak Sang Pemberi, Allah SWT Lupa untuk gemar membersihkannya serta rakus untuk menambah jumlahnya dengan berbagai cara, padahal semuanya akan diperiksa di pengadilan akhirat, pengadilan yang akurat dan adil.

Melalui shalat dan berkurban itulah bukti nyata implementasi ungkapan syukur kita kepadaNya. Fashalli lirabbika wanhar. Shalat yang ditegakkan yang berbekas selama selama 24 jam. Shalat yang mampu merasakan hadirnya diri kita menghadap Allah SWT Ash-shalaatu mi’rajul mukminin. Sedangkan berkurban adalah manifestasi dari kesejajaran kita dengan hamba Allah lainnya diiringi rasa cinta kepadaNya. Mereka yang berkurban adalah mereka yang telah mampu mengendalikan kepentingannya untuk meraih nilai takwa. “Daging kurban dan darahnya itu tidak akan sampai kepada Allah, akan tetapi ketakwaan daripada kalianlah ayng akan sampai kepadaNya.” (Q.S. Al-Haj : 37). Berkurban melalui harta benda baik berupa zakat, infak, dan shadaqah merupakan hal yang menjadikan harta kita bersih dan membuat kita kaya di akhirat kelak.

Di sisa hidup kita yang sangat singkat ini, hendaklah kita mulai mengevaluasi diri dan posisi kita masing-masing. Jangan sampai terjadi krisis bahkan musibah di dalam ibadah rumah tangga kita, yakni tidak diraihnya khusnul khatimah.

Biarkan ayah menjadi pemimpin rumah tangga sesuai dengan tuntunan Quran dan Sunnah Rasulullah saw. Ayah yang seperti Ibrahim a.s. yang senantiasa mengedepankan dan mengembangkan nilai tauhid dalam kepemimpinannya. Ayah yang bijak yang menghidupkan komunikasi dalam keluarganya.

Biarkan pula ibu menjadi pengelola dan penjaga tumah tangga suaminya. Ibu yang sanggup menjaga kehormatan suaminya. Ibu yang menjadi tempat kembali bagi suami dan anak-anaknya. Ibu yang serta merta menghardik syaitan untuk mendukung ibadah keluarganya. Ibu yang tegar dalam menghadapi tantangan kehidupan. Ibu yang senantiasa berharap ridha suaminya.

Sementara anak tampil sebagai generasi rabbani. Generasi yang menyejukkan mata dan menentramkan hati. Generasi yang mengikuti perintah Allah melalui ayah dan ibunya dengan kesabarannya. Generasi yang dapat meningkatkan iman bagi orang tuanya. Generasi yang sanggup mengantarkan kedua orang tuanya dengan do’a di sepanjang hayatnya. Inilah keluarga idaman yang sanggup melahirkan ungkapan BAITII JANNATII.

Dengan reposisi seperti ini krisis identitas dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan berkeluarga akan segala teratasi segala persoalan hidup, karena semuanya bermuara kepada TAUHIDULLAH. Bahwa semua telah diatur olehNya. Bahwa Allah mempunyai rencana untuk mengembalikan derajat kemuliaan manusia dengan berbagai cara sehingga kita memperoleh tempat disisiNya kelak.

Allaahumma Ya Allah, saat ini kami berkumpul dengan KekuasaanMu untuk bermohon ampun dari segala dosa maksiat kami. Ya Allah, ampunilah dosa kami dan ampuni pula dosa kedua orang tua kami, sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangi kami ketika kami masih kecil. Ya Rabbi, Berikanlah rahmat dan maghfirahMu kepada para guru kami, kepada para pemimpin kami dan kepada kaum muslimin baik yang masih hidup maupun yang telah tiada.

Ya Allah Ya Rabbana,

Inilah kami, hambaMu yang berharap limpahan rahmat dan karuniaMu, walau Engkaupun Mengetahui akan perbuatan ingkar kami kepadaMu.

Inilah kami yang tidak akan pernah malu bermunajat kepadaMu untuk senantiasa melindungi kami. Bimbing dan pimpin jalan hidup kami dengan petunjuk dariMu. Berikan kekuatan kepada kami untuk menegakkan al-Quran dan Sunnah RasulMu di

sepanjang hayat kami.

Allahumma Ya Allah,

Saat ini diantara saudara-saudara kami dipanggil olehMu ke Baitullah sehingga dapat menunaikan diantara perintahMu. Selamatkanlah perjalanan mereka, Ya Allah. Mudahkanlah urusan mereka, Ya Allah. Jadikanlah mereka sebagai hajjan mabruurun yang balasannya hanya SyurgaMu, Ya Allah Ya Arhamarraahimiin. Sayangi mereka, berkahi mereka, cukupkan mereka, lindungi mereka YAA ALLAH.

Allahumma Ya Allah,

Selamatkanlah bangsa kami dari adzabMu. Mudahkanlah para pemimpin kami untuk memperoleh jalan keluar dari krisis yang tengah kami alami. Bukalah hati dan fikiran para pemimpin kami untuk mudah menerima hidayah dariMu. Bimbing mereka, Ya Allah…

Memelihara Kemurnian Hadits Rasululloh SAW.

Memelihara Kemurnian Hadits Rasululloh saw.

Oleh: Rohidin


Kaum muslimin di dunia sepakat, bahwa sumber hukum Islam setelah Al-Quran adalah Hadits/ Sunnah Nabi Muhammad saw. Seperti yang dinyatakan oleh Munzier Suparta bahwa Hadits Rasul merupakan sumber dan dasar hukum Islam setelah al-Quran dan umat Islam diwajibkan mengikuti hadits sebagaimana diwajibkan mengikuti al-Quran.[1] Definisi ortodoks resmi tentang hadits yang diberikan oleh teolog-teolog Muslim sepanjang zaman menyatakan bahwa ”Literatur hadits dalam Islam adalah literatur yang mencakup semua ucapan, perbuatan dan keputusan Nabi Muhammad, persetujuan yang tidak diucapkan terhadap perilaku orang-orang di zamannya, dan gambaran-gambaran tentang pribadi Nabi”.[2] Dalam Al-Quran Surat An-Najm ayat 3 dan 4, Alloh swt. berfirman :

Artinya : dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya, Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)[3]

Oleh karena itu, seruan untuk mempergunakan Hadits Nabi dalam setiap aspek kehidupan muslim didengungkan di sepanjang zaman. Hal ini terjadi karena, ”Hadits/ Sunnah dipandang sebagai suatu hal yang dapat menjelaskan maksud Al-Quran dan menerangkan hukum-hukum yang tidak tersebut dalam Al-Quran”[4].

Pengertian al-Hadits/ Sunnah

Hadits atau al-Hadits menurut bahasa al-Jadid yang artinya sesuatu yang baru artinya yang berarti menunjukkan kepada waktu yang dekat atau waktu yang singkat. Sedangkan menurut istilah, menurut ahli ahdits, pengertian hadits ialah segala perkataan Nabi, perbuatan, dan hal ihwalnya. Yang dimaksud dengan hal ihwal ialah segala yang diriwayatkan dari Nbi saw yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaannya.[5]

Hasbi Ash-Shiddieqy mendefinisikan Sunna pada lughat menurut Asy Syaukany dalam Irsyaadul Fuhul ialah Jalan yang tetap kita jalani, (telah menjadi tradisi untuk kita jalani), baik diridlai, maupun tidak. Pada Syara, Sunnah adalah perbuatan-perbuatan Nabi yang beliau laksanakan untuk menerangkan maksud dan kehendak Al-Quran; dialah thariqatnya (perjalanannya) yang diikuti para shahabat dalam menerangkan agama, baik berupa perkataan, berupa perbuatan, berupa taqrir dan berupa meninggalkan, tidak mengerjakannya.[6]

Interpretasi terhadap Al-Hadits

Sunnah Nabi saw akhirnya menjelma sebagai produk pemikiran sejak zaman Nabi saw hingga para ulama saat ini. Pemikiran dan persepsi seseorang tentu saja dipengaruhi oleh lingkungan, kebiasaan/budaya, pendidikan, kejadian yang kadang-kadang khas, guru, penguasa politik/negara dan sebagainya. Upaya kodifikasi hadits-pun dilakukan begitu sulit karena antara lain, ”ternyata lebih banyak terpelihara dalam ingatan daripada catatan yang dimiliki para sahabat dan kemudian tersebar secara luas ke berbagai daerah Islam yang dikunjungi para sahabat Nabi”.[7]

Ketersebaran hadits Rasul saw ini memunculkan ragam interpretasi yang pada perkembangannya membentuk pendapat perseorangan maupun kelompok. Pada situasi tertentu, perbedaan interpretasi ini berpotensi melahirkan perpecahan di kalangan umat pendukung/ pengguna pendapat tersebut. Kelompok-kelompok dalam memahami al-Quran dan Sunnah kini tak terelakkan dan memang demikian adanya, mustahil dibendung apalagi dilarang. Quraisy Syihab menyatakan bahwa ”Kelompok Ahlussunnah mengalami perkembangan dalam pemikiran mereka, apalagi dalam bidang hukum, dan tentu saja Syi’ah bahkan kelompok apa pun tidak terkecuali.”[8]

Corak pemikiran yang berbeda mengharuskan umat Islam memiliki keterbukaan untuk mengakui perbedaan interpretasi dan bukan malah memaksakan pendapat untuk diterima fihak lain. Sebagai contoh, Dudung Abdul Rohman menyatakan bahwa ”Dalam menyuarakan idealismenya, Pesatuan Islam (Persis) terkesan radikal dan keras tanpa kompromi dan toleransi. Seolah-olah orang-orang yang ada di hadapannya sebagai musuh yang harus dibabat habis”.[9]

Salah satu hal untuk dapat memiliki keterbukaan dalam menghadapi adanya perbedaan, maka perlu kiranya umat Islam mempelajari perkembangan pemikiran/ ijtihad/ pendapat yang berkembang sejak zaman Nabi Muhammad saw sampai sekarang.

Sejarah Perkembangan dan Pemikiran Sunnah

Sunnah Nabi yang dipandang sebagai hukum Islam kedua mendudukan persoalan atas pentingnya memutuskan syari’at dengan berpedoman pada Sunnah Rasul saw. Dalam penerapannya, ternyata perkembangan pedoman yang telah digariskan oleh Rasul saw ini mengalami interpretasi yang beragam sejak dulu, bahkan tatkala Rasulullah masih ada, termasuk pendapat/ijtihad Nabi saw. sendiri.

Ijtihad Nabi Muhammad saw.

Jaih Mubarak (2003 : 30 – 31)mengulas hal ini secara penjang lebar, sebagai berikut :

Para ulama berikhtilaf tentang ijtihad Nabi Muhammad SAW terhadap sesuatu yang tidak ada ketentuan nash dari Alloh.sebagian ulama Asy’ariah dan kebanyakan ulama Mu’tazilah berpendapat bahwa Nabi tidak boleh melakukan ijtihad terhadap sesuatu yang tidak ada ketentuan nash, yang berhubungan dengan amaliah tentang halal dan haram .Sedangkan ulama ushul, diantaranya Abu Yusuf al-Hanafi dan al-Syafi’i membolehkannya. Sebagian sahabat al-Syafi’i, al-Qadli ‘Abd al-Jabar, dan Abu Hasan al-Bashri berpendapat bahwa Nabi melakukan ijtihad dalam berperang, bukan dalam bidang hukum. Menurut sebagian ulama, Nabi tidak berijtihad sebab perkataan, perbuatan, dan ketetapannya adalah al-Sunnah-sumber atau dalil hukum islam kedua –juga berdasarkan Firman Alloh, “Wa mayanthiq’ an al-hawa in huwa illa wahy yuha; Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsu ;ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu Yang diwahyukan kepadanya.”(Q.S.al-Najm[53]:3-4).

Ikhtilaf di atas kemudian memunculkan komentar; antara lain dari ulama Mesir, Muhammad Salam Makdur. Komentar yang lain datang pula dari ulama seperti Ibnu Taimiah dan Ibnu Hazm .Ibnu Hazm ,Ibnu Taimiah, Ibnu Khaldun, dan al-Kamal ibn al-Hamam berpendapat bahwa Nabi melakukan salat .Salah satu conto hijtihadnya adalah tentang panggilan dan pemberitahuan untuk melaksanakan salat.Sebagian sahabat berpendapat, sebaiknnya menggunakan lonceng(naqus) seperti lonceng Nashara; sebagian sahabat menganjurkan untuk menggunakan terompet (bauq) seperti terompet Yahudi. Kemudian ‘Umar bertanya kepada Nabi SAW :”Mengapa tuan tidak mengutus seseorang untuk mengajak salat? “Nabi bersabda:”Hai Bilal,berdirilah dan ajaklah salat.”(‘Abd al-Jalil’Isa,1967:173-4).[10]

‘Abd al-Jalil ‘Isa dalam Jaih Mubarak mengungkapkan beberapa contoh ijtihad yang dilakukan Nabi, diantaranya sebagai berikut.

a. ketika ditanya tentang cara memperlakukan anak-anak musyrikin yang ikut dalam berperang ,Nabi menjawab :”Mereka di perlakukan seperti bapak-bapak nya .”(‘Abd al-Jalil ‘Isa,1967:77-8)

b. Qiblat.umat islam sebelum di tetapkan oleh Allah SWT adalah Bait al-Maqdis.selama 16 atau 17 bulan. Salat ke Bait al-Maqdis Nabi (‘Abd al-Jalil’Isa, 1697:87)

c. ‘Abd Alloh ibn Ubai (tokoh munafik) datang kepada Nabi dan meminta beliau agar beristigfar (memohonkan ampunan kepada Alloh )untukny .Kemudian Nabi memohon kepada Alloh agar ‘Abd Alloh ibn Ubai diampuni .Disamping itu, Nabi memohon kepada Alloh agar’Abd Alloh ibn Ubai diberi petunjuk Alloh . Kemudian Alloh berfirman :”Kamu memohonkan ampun bagi mereka (orang-orang munafik )atau kamu tidak memohokan ampun bagi mereka (adalah sama saja ).”(Q.S. al-Taubah[9]:80).(‘Abd al-Jalil ‘Isa 1969 :141-2)

d. Ketika khawalah binti Tsa’labah bertaya kepada Nabi tentang suaminya ,Aus Ibn Shamit, yang telah zhihar kepada dirinya Nabi menjawab :”Kamu haram bagi suamimu yang telah zhihar kepadamu.”Dengan demikian, zhihar berarti sama dengan talak atau cerai .Kemudian Alloh berfirman :”Alloh mendengar tentang perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepadamu tentang suaminya …Orang-orang yang menzhihar istri mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan ,maka(wajib atasnya ) memerdekakan seorang budak sebelum suami itu bersatu…Barang siapa tidak mendapatkan (budak ),maka (wajib atasnya )puasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur .Yang tidak kuasa (melaksanakan puasa dua bulan berturut-turut ),(wajib atasnya )memberu makan enam puluh orang miskin…’(Q.S. al-Mujadilah [28]:1-4). Dengan demikian, Alloh menetapkan bahwa zhihar tidak termasuk talak tetapi bersangkutan harus melakukan kafarat seperti ditentukan dalam ayat diatas. (Muhammad Salam Madkur ‘1974:359 ).[11]

Ijtihad pada Zaman Nabi Muhammad saw.

Diantara sahabat yang melakukan ijtihad pada zaman Nabi adalah mereka yang diutus untuk menjadi qadli atau hakim. Diantaranya Ali bin Abi Thalib yang diutus Rasul saw untuk menjadi hakim di Yaman; Mu’adzibn Jabal yang diutus menjadi hakim di Yaman; dan Khuzdaifah al Yamani yang diutus untuk menyelesaikan sengketa dinding antara tetangga yang masing-masing mengaku bahwa dinding itu miliknya.

Di antara ijtihad sahabat yang dilakukan pada zaman Nabi adalah sbb. :

a. Suatu hari sahabat Nabi berkunjung ke Bani Quraizah. Kepada mereka, Nabi bersabda, “La Yushaliyanna ahadukum al ‘Ashra illa fi Bani Quraizah; jangan sekali-kali kamu melaksanakan salat Asar kecuali di Bani Quraizah.” Sebelum sampai ke Bani Quraizah, waktu Asar hamper habis. Sebahagian sahabat berijtihad dengan melakukan salat di perjalanan. Berdasarkan ijtihadnya, perintah tersebut adalah supaya sahabat melakukan perjalanan secara cepat sehingga bisa sampai di Bani Quraizah sebelum waktu salat Asar habis. Sebahagian sahabat lagi berpegang kepada makna tersurat sabda Nabi tersebut, sehingga mereka salat Asar di Bani Quraizah pada malam hari. Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, mereka adalah ahl al-zhahir pertama dan ahl al-ma’na pertama (mana, al-Qthan, 1989:84). Muhammad Salam Madkur mengatakan, ketika berita berita ikhtilaf itu sampai kepada Nabi, beliau membenarkan kedua tindakan sahabat tersebut.

b. Dua orang sahabat melakukan perjalan. Ketika wktu salat tiba, mereka tidak mendapatkan air untuk berwudu. Keduanya bertayamum dan kemudian salat. Setelah salat selesai, mereka mendapatkan air. Sorang sahabat berwudu dan salat kembali; sedangkan sahabat yang satu lagi tidak. Kemudian keduanya datang kepada Rasul Saw dan menceritakan pengalamannya. Kepada yang tidak berwudu dan tidak mengulangi salat, Nabi Saw bersabda, “Ashabta al-Sunnah; Engkau mengerjakan pekerjaan sesuai dengan Sunnah.” Sedangkan kepada sahabat yang berwudu dan mengulangi salat, Nabi Saw bersabda, “Al-ajr marratain; Engkau mendapatkan pahala dua kali.” (Mana al-Qaththan, 1989:85; Ibn Hajar al-Asqalani, t.th:37)

Dari perbedaan pendapat yang sama-sama diakui kebenarannya ini, kemudian bermunculan fatwa sahabat yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan hukum Islam.

Sebelum mengetahui pengaruh fatwa terhadap perkembangan hukum, terlebih dahulu kita perlu mengetahui persoalan-persoalan penting yang dihadapi oleh sahabat. Berikut di antara persoalan penting yang dihadapi oleh sahabat.

a. Sahabat khawatir akan kehilangan Al-Qur’an karena banyaknya sahabat yang hafal Al-Qur’an meninggal dunia dalam perang melawan orang-orang murtad.

b. Sahabat mengkhawatirkan terjadinya ikhtilaf sahabat terhadap Al-Qur’an akan seperti ikhtilaf Yahudi dan Nasrani yang terjadi sebelumnya.

c. Sahabat takut akan terjadi pembohongan terhadap Sunnah Saw.

d. Sahabat khawatir umat Islam akan menyimpang dari hukum Islam.

e. Sahabat menghadapi perkembangan kehidupan yang memerlukan ketentuan syariat karena Islam adalah petunjuk bagi mereka tetapi belum ditetapkan ketentuannya dalam Al-Qur’an dan Sunnah. (‘Umar Sulaiman al-‘Asyqar, 1991:63-64).

Dalam menghadapi keadaan tersebut, mereka menentukan langkah-langkah dalam berijtihad. Di antara sahabat yang menentukan thuruq al-istinbath adalahAbu Bakar dan ‘Umar. Adapun langkah-langkah yang dilakukan ‘Abu Bakar dalam istinbath al-ahkam adalah sebagai berikut:

a. Mencari ketentuan hukum dalam Al-Qur’an. Apabila ada, ia putuskan berdasarkan ketetapan yang ada dalam Al-Qur’an.

b. Apabila tidak menemukan dalam Al-Qur’an, ia mencari ketentuan hukum dalam Sunnah; bila ada, ia putuskan berdasarkan ketetapan yang ada dalam Sunnah.

c. Apabila tidak menemukan dalam Sunnah, ia bertanya kepada sahabat lain apakah Rasul Saw telah memutuskan persoalan yang sama pada zamannya. Jika ada yang tahu, ia menyelesaikan persoalan tersebut berdasarkan keterangan dari yang menjawab setelah memenuhi beberapa syarat.

d. Jika tidak ada sahabat yang memberikan keterangan, ia mengumpulkan para pembesar sahabat dan bermusyawarah untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Jika ada kesepakatan di antara mereka, ia menjadikan kesepakatan itu sebagai keputusan.

‘Umar melakukan hal yang sama dengan Abu Bakar. Sebelum mengumpulkan sahabat untuk bermusyawarah, ia bertanya kepada sahabat lain: “Apakah kalian mengetahui bahwa Abu Bakar telah memutuskan kasus yang sama?” jika pernah, ia mengikuti kepeutusan itu. Jika tidak ada, ia mengumpulkan sahabat dan bermusyawarah untuk menyelesaikannya. (‘Umar Sulaiman al-‘Asyqar,1991:75)

Perbedaan pendapat telah ada sejak zaman sahabat Nabi Saw. Sahabat berbeda pendapat dalam menyelesaikan suatu kasus karena mereka tidak terjaga dari kekeliruan.

Adapun sebab perbedaan pendapat yang berhubungan dengan Sunnah adalah sebagai berikut.

a. Tidak semua sahabat memiliki penguasaan yang sama terhadap Sunnah. Di antara mereka ada yang penguasaan sunnahnya cukup luas, adapula yang sedikit. Hal itu terjadi karena perbedaan mereka dalam menyertai nabi; Ada yang intensif, asa yang tidak; ada yang lebih awal masuk islam, ada yang paling akhir .

b. Kadang-kadang riwayat telah sampai kepada seorang sahabat tetapi belum atau tidak sampai kepada sahabat yang lain, sehingga diantara mereka ada yang mengamalkan ra’y karena ketidaktahuan mereka terhadap Sunnah. Umpamanya, Abu Harairah r.a. berpendapat bahwa orang yang masih junub pada waktu subuh, tidak berpuasa Ramadhan, man ashbaha junub(an) fa la shaum lah. Kemudian pendapat inididengar oleh ‘Aisyah yang berpendapat sebaliknya. ‘Aisyah menjadikan peristiwa dengan Nabi sebagai alasan. Maka Abu Hurairah menarik kembali pendapatnya.

c. Sahabat Nabi berbeda pendapat dalam menakwil Sunnah. Umpamanya, thawaf. Sebahagian shahabat berpendapat bahwa bersegera dalam thawaf adalah sunnat; sedangkan Ibnu ’Abbas berpendapat bahwa bersegera dalam thawaf tidak Sunnah.

Sebenarnya, mempresentasikan perkembangan fatwa para shahabat sangatlah sulit karena terbatasnya literatur. Sulit bagi kita melihat transformasi atau perubahan fatwa sahabat dari waktu ke waktu[12].

Ijtihad Zaman Tabi’in

Setelah masa khalifah yang empat berakhir, fase selanjutnya adalah zaman tabi’in yang pemerintahannya dipimpin oleh Bani Umayyah. Pemerintahan ini didirikan oleh Mu’awiyah ibn Abi Sufyan yang sebelumnya menjadi Gubernur Damaskus. Peristiwa tahkim, yaitu perdamaian antara pihak Ali dan Muawiyah yang kedudukannya berbeda; Ali sebagai khalifah dan Muawiyah sebagai gubernur, di mana pada penerimaan Ali terhadap tawaran damai dari pihak Muawiyah mengundang pertentangan yang kemudian melahirkan kelompok-kelompok dalam perkembangan umat Islam. Dan puncaknya pada saat terbunuhnya Ali yang kemudian memberikan ”berkah” kepada Muawiyah untuk menjadi khalifah dengan sistemnya yang ia buat, yakni sistem kerajaan/dinasti. Ketika itu umat Islam, paling tidak, terpecah menjadi tiga kelompok yaitu penentang Ali dan Muawiyah (Khawarij), pengikut setia Ali (Syi’ah) dan jumhur. Inilah fase yang merupakan awal zaman tabi’in.

Secara umum, tabi’in mengikuti langkah-langkah penetapan hukum dan penerapan hukum yang dilakukan sahabat dalam istimbath al ahkam. Langkah-langkah yang mereka lakukan adalah sebagai berikut :

1. Mencerai ketentuannya dalam Al-Quran.

2. Apabila ketentuan itu tidak didapatkan dalam Al-Quran, mereka mencarinya dalam Sunnah.

3. Apabila tidak didapatkan dalam Al-Quran dan Sunnah, mereka kembali kepada pendapat sahabat.

4. Apabila pendapat sahabat tidak diperoleh, mereka berijtihad.

Dengan demikian, dasar hukum pada periode ini adalah (1) Al-Quran; (2) Sunnah; (3) Ijmak dan pendapat sahabat; dan (4) Ijtihad.

Pada zaman tabi’in terdapat dua madrasah yang keduanya berupaya mengimplementasikan al-Quran dan Sunnah dalam kehidupan, yakni Madrasah Madinah dan Madrasah Kufah. Salah satu ulama Madinah atau aliran madinah atau aliran hadits, Imam Malik, berpendapat bahwa ijmak penduduk Madinah adalah hujjah yang wajib diikuti. Sedangkan sejak Kuffah dibebaskan untuk keluar dari Madinah, beberapa sahabat Nabi saw tinggal di sana antara lain (1) Ibnu Mas’ud, (2) Abu Musa al-‘Asy’ari, (3) Sa’ad ibn Waqqash, (4) ‘Amar ibn Yasir, (5) Khuzaifah ibn al-Yaman, dan (6) Anas ibn Malik. Jumlah mereka semakin bertambah terutama setelah peristiwa terbunuhnya Utsman ibn ‘Affan r.a. hingga mencapai 300 orang[13]. Atas jasa sejumlah sahabat, sebahagian penduduk Kuffah berhasil dibina menjadi ulama dan meneruskan gagasan aliran ra’yu. Kuffah lebih banyak menggunakan ra’yu.

Menurut Ibnu Qoyyim al-Jauziyah dalam Jaih Mubarak menyatakan bahwa “Hukum Islam pada generasi sahabat dikembangkan oleh dikembangkan oleh Zaid ibn Tsabit dan ‘Abdulla ibn ‘Umar di Madinah, ‘Abdullah ibn ‘Abbas di Mekkah, dan ‘Abdullah ibn Mas’ud di Iraq.[14]

Oleh karena itu, perkembangan pemikiran atas hukum Islam semakin nampak dengan munculnya corak pemikiran ulama Madinah, Kuffah, Irak serta pengaruh atas terbentuknya 3 (tiga) kelompok seusai peristiwa tahkim, seperti yang telah diuraikan terdahulu yang kemudian dikenal dengan pemikiran hukumIslam Khawarij, Syi’ah dan Jumhur. Perkembangan inilah yang nampak pada masa/ fase tabi’in.

Zaman Pembentukan Madzhab

Pada zaman ini dikenal dengan perkembangan hukum Islam secara cepat. Ditandai dengan berakhirnya kekhalifahan Bani Umayyah dan diganti oleh kekhalifahan Bani ‘Abbas. Jaih menyatakan tentang hal ini bahwa Khulari menyebutnya sebagai fase fikih menjadi mandiri sedangkan T.M. Hasbi Asy Syiddieqi menyebutnya sebagai fase kesempurnaan.[15]

Jaih Mubarak menulis sebagai berikut bahwa pada zaman ini ditandai dengan terjadinya peristiwa sebagai berikut :

1. Penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam Bahasa Arab seperti kedokteran, ilmu-ilmu pengetahuan dan filsafat.

2. Berkembangnya pemikiran karena luasnya ilmu pengetahuan, sehingga terjadi perdebatan dalam bidang-bidang keagamaan seperti ilmu kalam, atau pertarungan pemikiran antara mutakalimin, muhadditsin dan fuqaha.

3. Adanya upaya melestarikan Al-Quran dengan dua cara yaitu dicatat dan dihafal; sehingga muncul qira’at yang dinilai shahih (qira’at al ‘asyar) dan qira’at yang tidak digunakan (qira’at syadzah).[16]

Pada zaman inilah munculnya aliran-aliran hukum Islam sebagai berikut :

1. Aliran Hanafi didirikan oleh al-Nu’man ibn Tsabit ibn Zuthi atau dikenal dengan nama Imam Abu Hanifah (80 – 150 H.);

2. Aliran Maliki didirikan oleh Malik ibn Anas ibn Abi ’Amar al Ashbahi atau dikenal dengan sebutan Imam Malik (93 – 179 H.);

3. Aliran Syafi’i didirikan oleh Muhammad ibn Idris ibn al-’Abbas ibn ’Ustman ibn Syafi’i ibn al-Sa’ib ibn ’Ubaid ibn ’Abd Yazid ibn Hisyam ibn ’Ab al-Muthalib ibn ’Abd Manaf (150 – 204 H.);

4. Aliran Hanbali didirikan oleh Abu ’Abdullah Ahmad ibn Hanbal ibn Hilil ibn Asad al Ayaibani al Marwazi (164 – 241 H.); dan

5. Aliran Zhahiri didirikan oleh Daud ibn ’Ali al Ashbahani atau dikenal dengan nama Imam Abu Daud (202 – 270 H.).

Melalui aliran-aliran di atas, hukum Islam, terutama dalam bidang fikih, berkembang pesat dengan berbagai pendapat atas persoalan-persoalan yang dihadapi umat baik persoalan yang sama maupun persoalan yang berbeda. Bahkan Jaih Mubarak mencatat bahwa menurut Thaha Jabir Fayadl al-’Ulwani, madzhab fikih Islam yang muncul setelah sahabat dan kibar al-tabi’in berjumlah 13 aliran, diantaranya :

1. Abu Sa’id Hasan ibn Yasar al-Bashri (w. 110 H.)

2. Abu Hanifah al-Nu’man ibn Tsabit ibn Zuthfi (w. 150 H.)

3. Al-Auza’i Abu Amr ’Abd al-Rahman ibn ’Amr ibn Muhammad (w. 157H.)

4. Sufyan ibn Sa’id ibn Masruq al-Tsauri (w. 160 H.)

5. Al-Laits ibn Sa’d (w. 175 H.)

6. Malik ibn Anas al Bahi (w. 179 H.)

7. Sufyan ibn ’Uyainah (w. 198 H.)

8. Muhammad ibn Idris al-Syafi’i (w. 204 H.)

9. Ahmad ibn Muhammad ibn Hambal (w. 241 H.)

10. Daud ’Ali al-Ashbahani al-Baghdadi (w. 270 H.)

11. Ishaq ibn Rahawaih (w. 238 H.)

12. Abu Tsaur Ibrahim ibn Khalid al-Kalabi (w. 240 H.)[17]

Inilah zaman keemasan fikih yang mampu membangun cara dan mekanisme berfikir secara independen, jujur dan penuh dedikasi terhadap kebenaran risalah al-Islam. Yang kemudian, setelah itu, para pengikut madzhab (terutama pengikut muta-akhirin) secara berlebihan mengusung bendera madzhabnya sebagai yang paling benar yang pada gilirannya melahirkan perpecahan umat. Thaha Jabir Fayyadh al-’Alawi menyatakan sebagai berikut :

”Kita telah banyak berusaha untuk meraih pengetahuan namun telah kehilangan moral pengetahuan. Kita banyak memiliki sarana kemudahan hidup namun tujuan dan target hidup itu sendiri telah kita sia-siakan. Kita sudah banyak kehilangan nilai berharga karena kita terlalu mempermasalahkan perbedaan di sekitar hal yang manduub (bentuk keagamaan yang sifatnya hanya dianjurkan) dan mubah. Kewajiban utama dan target yang besar (ghaayat ’uzhmaa) telah banyak kita lupakan. Kita semua sangat semangat bertarung (mubaarazaat), adu argumen(muhaajajaat) dan berselisih, namun etika dan moral dari semua itu telah kita lupakan sama sekali. Sehingga kita jatuh ke dalam jebakan saling makan dengan sesama, bertengkar dan gontok-gontokkan, yang mengakibatkan umat Islam terperangkap dalam kesulitan, kelesuan dan kehilangan wibawa.”[18]

Zaman Taklid dan Kemunduran

Untuk menjaga “kesucian” kitab-kitab fikih – di samping Al-Qur’an dan Sunnah – ulama melakukan kegiatan yang bersifat internal, yakni membangun mazhab yang dianutnya sehingga dapat berkembang. Terdapat dua ciri yang cukup dominan yang menjadi tanda kemunduran fikih Islam, yaitu taklid dan tertutupnya ijtihad.

Salah satu akibat keterbelengguan akal dan pikiran adalah timbulnya pendapat ulama yang memandang bahwa pendapat para imam mazhab dengan nash Al-Qur’an dan Sunnah yang tidak dapat diubah, digugat, atau diganti. Umpanya, ‘Ubaid Al-lah al-Karkhi (w.349 H), salah seorang ulama mazhab Hanafi pernah berkata, “Setiap ayat Al-Qur’an dan Hadist yang bertentangan dengan mazhab Hanafi dapat ditakwilkan atau di-nasakh-kan. “Imam Iyadi juga pernah bearkata, “Bagi yang taklid, kedudukan pendapat imam mazhabnya dinilai sejajar dengan Al-qur’an dan Sunnah.” [19]

Itulah sebab umum terjadinya taklid yang melanda umat Islam setelah abad keempat hijriyah. Thaha Jabir menyatakan bahwa telah muncul orang-orang yang menghitamkan agama yang putih dengan memberi keringanan kepada manusia dalam agama mereka sehingga melewati batas, dan orang-orang yang menerimanya dengan alasan untuk mempermudah. Sebahagian dari mereka adalah ahli fatwa yang menghancurkan kehormatan yang berfatwa atas dorongan hawa nafsu.”[20]

Secara lebih rinci, sebab-sebab taklid menurut Sulaiman al-Asyqar dalam Jaih Mubarak, hal-hal yang menyebabkan munculnya taklid adalah sebagai berikut.

1. Adanya penghargaan yang berlebihan kepada guru. Hal itu tercermin dalam anggapan bahwa, pertama, setiap orang dewasa diwajibkan menganut salah satu mazhab dan diharamkan keluar dari mazhab yang dianutnya itu; kedua, mengambil pendapat selain pendapat imam yang dianutnya adalah haram; dan ketiga, guru yang terdahulu lebih mengetahui makna nash daripada kita.

2. Banyaknya kitab fikih. Sulaiman al-Asyqar membuat perumpanaan sebagai berikut : “Pada zaman Abu Bakar dan Umar, hadist tidak boleh dibukukan karena Nabi Saw melarangnya. Cegahan tersebut dilakukan karena Nabi khawatir sahabat akan meninggalkan Al-Qur’an apabila mereka disibukkan dengan pengumpulan dan pembukuan hadist. Yang dikhawatirkan setelah munculnya kitab-kitab fikih adalah disibukkannya ulama dengan kegiatan yang berkutat pada kitab fikih melalui upaya pembuatan ringkasan (al-mukhtashar), penjelasan (syarh), dan penjelasan atas penjelasan (hasyiyah). “Dalam kitab Muqaddimah, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa melakukan kebiatan yang berkutat pada kitab fikih adalah kegiatan yang menyulitkan karena yang belajar diharuskan menguasai, menghafal dan menjaga seluruh (isi) dan cara-cara yang ditempuhnya.

3. Melemahnya Daulah Islamiah. Sebagaiman kita ketahui, dukungan pemerintahan sangat berpengaruh terhadap kegiatan ilmiah. Dunia Islam pun mulai maju dan berkembang setelah khalifah berpihak kepada pengembangan ilmu dan penerjemahan buku-buku filsafat, astronomi, dan kedokteran ke dalam bahasa Arab. Melemahnya pemerintahan berarti melemah pula dukungan terhadap pengembangan ilmu.

4. Adanya anjuran sultan untuk mengikuti aliran yang dianutnya. Kedudukan sultan berpengaruh tehadap taklid karena sultan hanya mengangkat qadli atau hakim dari mazhab yang dianutnya.

5. Adanya keyakinan sebagian ulama yang beranggapan bahwa setiap pendapat mujtahid itu benar. Menurut sebagian ulama, pendapat imam sejajar dengan syariat, sehingga pendapat ulama yang mana saja boleh digunakan. Ada kesan bahwa pendapat ulama adalah agama yang mesti diikuti.[21]

Menurut Jaih (2003 : 139), taklid terjadi karena dua hal : pertama, keterbelengguan pemikiran sehingga ulama lebih suka mengikatkan diri dengan aliran fikih tertentu; dan kedua, karena ulama kehilangan kepercayaan diri untuk berdiri sendiri yang didasarkan pada anggapan bahwa ulama pendiri mazhab itu lebih cerdas dan pintar daripada dirinya. Dua sebab ini kemudian berpengaruh kepada aspek-aspek lain seperti yang dijelaskan di atas.

Dalam perkembangan berikutnya, taklid menyebabkan kemunduran umat Islam karena kemudian melahirkan tertutupnya ijtihad. Menurut sebagian ulama, anggapan yang menyatakan ijtihad tertutup muncul pada abad IV H. Pendapat ini – seperti dikatakan oleh Muhammad ‘Ali al-Sayyis – didasarkan pada fakta sejarah yang menunjukkan bahwa Ibnu Jarir al-Thabari (w.310 H.) merupakan ulama mujtahid mustaqil terakhir. Setelahnya, ulama mengikatkan diri pada aliran fikih tertentu.

Adapun di antara sebab ijtihad dinyatakan tertutup, menurut Jaih Mubarak adalah sebagai berikut :

1. Munculnya hubb al-dunya di kalangan ulama. Imam al-Ghazali (w. 505 H.) dalam kitab Ihya ‘Ulum al-Din, membagi ulama menjadi dua: ulama dunia dan ulama akhirat. Ulama dunia – dalam pandangan al-Ghazali – adalah ulama yang ilmunya digunakan hanya untuk mengejar kepentingan duniawi; dan ia lalai dalam ibadah serta kehilangan sifat zuhud.

2. Adanya perpecahan politik. Akhir kekuasaan Abasiah (Abasiah Fase III) khalifah dijadikan boneka; daerah-daerah yang dikuasainya masing-masing berdiri sendiri dan saling bermusuhan. Pada tahun 324 H., umat Islam terbagi-bagi menjadi beberapa kerajaan: Basharah dikuasai oleh Dinasti Ra’iq, Fez dikuasai oleh Dinasti ‘Ali ibn Buwaihi, Ray dikuasai oleh Abi ‘Ali al-Husain ibn al-Buwaihi, Diyar Bakr dikuasai oleh Bani Hamdan, Mesir dan Syam dikuasai oleh Dinasti Fatimiah, dan Bahrain dikuasai oleh Dinasti Qaramithah. Khalifah hanya berkuasa di Bagdad.

3. Adanya perpecahan aliran fikih. Sebagian umat Islam ada yang beranggapan bahwa pendapat ulama sepadan atau sederajat dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Pendapat ulama tidak boleh diubah atau diganti dengan pendapat lain. Anggapan ini tentu akan melahirkan ketidakharmonisan di kalangan umat Islam, sebab dalam sejarah umat Islam terdapat banyak aliran. Apa yang akan terjadi apabila pengikut mazhab Hanafi menganggap bahwa hanya pendapat Abu Hanifah yang benar, pengikut mazhab Malik berpendapat bahwa hanya pendapat Imam Malik yang benar; begitu pula pengikut mazhab Syafi’i dan Ahmad ibn Hanbal? Demikianlah di antara sebab tertutupnya ijtihad.

4. Selain itu, ada jawaban yang lebih mendasar, Ijtihad ditutup karena munculnya keterbelengguan pemikiran atau kegiatan pengembangan ilmu; itjihad adalah bagian dari kegiatan ilmiah. Oleh karena itu, tertutupnya ijtihad merupakan implikasi dari keadaan umum umat Islam yang sedang berada pada fase kemunduran.

Upaya pemeliharaan hadits

Wafatnya Nabi saw. pada 10 H. (632 M.), membuat otoritas hadits mulai terasa apalagi dengan berlalunya masa/ waktu dan menyebarnya kekuatan kaum muslimin ke berbagai pelosok dunia, termasuk Negara kita, Indonesia. Cara-cara hidup, pengalaman, ilmu, kemajuan teknologi dan berbagai persoalan kehidupan mulai beragam dan berkembang sesuai tempat dan sikap hidup manusia di zaman tertentu. Persoalan-persoalan kehidupan kaum muslimin yang beragam itu tak pelak memerlukan rujukan sunnaturrasulillah, yang boleh jadi dan sangat mungkin tidak didapatkannya. Di lain fihak, gelora melaksanakan dan mempertimbangkan segala persoalan kehidupan dengan panduan hadits/sunnah Rasul adalah suatu hal yang mutlak dilakukan. Seperti yang dinyatakan oleh Al-Imam An-Nawawi dalam kitabnya Riyadlush Salihin yang menyebutkan bahwa sejumlah hadits menyuruh kita para umat memelihara sunnah dan adab-adabnya.[22] Memelihara dalam hal ini adalah berpegang teguh pada sunnah Nabi saw yang shahih, bahkan para Imam madzhabpun menyeru umat Islam untuk senantiasa menggunakan Hadits-hadits shahih dan meninggalkan hadits-hadits yang lemah apalagi palsu. Imam Syafi’i[23] menyatakan beberapa hal tentang hal ini, yaitu :

اِذاوَجَدْ تُمْ فِى كِتَـَابِى خِلاَفَ سُـنَّةِ رَسُوْلِ الله ص م فَقـُولـُوْا بِـسُـنَّةِ رَسُوْلِ الله ص م وَدَعـَوْا مـَا قـُلـْتُ- (1)

اِذاوَجَدْ تُمْ سُـنَّةَ رَسُوْلِ الله ص م خِلاَفَ قَـَُولِى فـَاِنِّى ا َقـُوْلُ بـِهـَا – (2)

اِذا صـَحَّ عِنـْدَ كُمُ الـْحَدِيـْثُ فَقـُولـُوْالِى كـَىْ ا َ ذ ْهـَبَ اِلـَيْهِ – (3)

اِذا صـَحَّ الـْحَدِيـْثُ فَهـُوَ مـَذ ْهـَبـِى – (4)

اِذارَا َيـْتُمْ كـَلآمِى يـُخـَالِفُ كـَلآمَ رَسُوْلِ الله ص م فـَاعـْمَلـُوْا بـِكـَلآمِ رَسُوْلِ الله ص م, وَاضـْرِبـُوْا بـِكـَلآمِى عَرْضَ الـْحـَائـِطِ – (5)

Artinya :

(1) Apabila kamu menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlawanan dengan sunnah Rasululloh saw maka berkatalah menurut Sunnah Rasululloh saw dan tinggalkanlah apa yang aku telah katakana (Riwayat Al-Baihaqi dari ar-Rabi’ in Sulaiman)

(2) Apabila kamu menemukan sunnah Muhammad Rasululloh saw yang berlawanan dengan pendapatku, maka sesungguhnya aku mengatakan menurut sunnah itu. (Diriwayatkan oleh Abu Muhammad Al Jurudi)

(3) Apabila telah shahih hadits di sisimu, maka terangkanlah kepadaku supaya aku bermadzhab dengan hadits itu. (Diterangkan oleh Ahmad)

(4) Apabila telah shahih hadits, maka itulah madzhabku. (((Diterangkan oleh Asy Sya’rani dalam Muqaddamah Al Mizanul Kubra)

(5) Apabila kamu melihat perkataanku, menyalahi perkataan Rasululloh saw, maka beramallah dengan perkataan Raululloh saw. Dan pukullah dengan perkataanku samping tembok.

Jika saat ini muncul berbagai ilmu yang berkaitan dengan hadits, maka sesungguhnya ia merupakan pencerminan dari keinginan untuk memelihara keshahihan hadits Rasulullah saw. Sayyid Sabiq menyatakan, “Sungguh mulia orang-orang yang tetap berpegang teguh pada agamanya dan tidak tergoyahkan oleh kejutan-kejutan perkembangan modernisasi yang mempropagandakan kehebatan teori-teori ilmu pengetahuan”.[24] Pemeliharaan dan keteguhan mempertahankan hadits-hadits shahih dewasa ini menjadi sangat krusial mengingat kitab hadits yang pertama setelah Rasulullah saw. wafat, dilakukan oleh Malik ibn Anas (tahun 93–179 H) dalam Kitab Al-Muwathth’, kemudian muncul Kitab al-Musnad karya Imam Ahmad (164–241H), Al-Jami’ Ash Shalih karya Imam Bukhari (194-256 H), Al-Sunan karya Imam Abu Daud (202-275 H), Al-Jami’ Ash Shalih karya Imam Muslim (204-251 H), -Jami’ Ash Shalih karya Al Tirmidzi, Al Sunan karya Ibnu Majah (209-273 H), dan Al Sunan karya Al Nasaa’i (215-302 H).[25] Dengan tegas dapat dikatakan bahwa masa seleksi atau penyaringan hadits terjadi ketika pemerintahan dipegang oleh Dinasti Bani Abbas, khususnya sejak masa Al-Makmun sampai dengan Al-Muktadir (sekitar tahun 201 – 300 H.)[26] Dan puncak pengkodifikasian hadits terjadi pada abad ke-3 (tiga) setelah wafatnya baginda, Nabi Muhammad saw[27].

Sehubungan dengan perkembangan dan pengkodifikasian hadits yang dilakukan setelah wafatnya Rasululloh saw. maka sangat dimungkinkan keshahihan hadits Rasul saw. mengalami intervensi dari berbagai kalangan, baik internal umat Islam maupun (apalagi) dari musuh atau mereka yang membenci Islam. Apalagi dalam konteks kekinian, permasalahan yang muncul demikian rumit dan pelik yang tidak jarang umat Islam tidak menemukan solusi yang tegas baik dari Al-Quran maupun Al-Hadits sehingga pada saat yang paling ekstrim, umat Islam memutuskan perkara dengan fikirannya sendiri yang tiada lain hal ini bentuk tak disadari dari terlepasnya dua pedoman hidupnya itu.

Oleh karena itu, pemahaman terhadap al-Hadits terus diupayakan oleh ulama hadits sehingga ditemukan cara pemahaman yang tepat. Dalam hal ini, Yusuf Qardhawi (1994 : 147) secara penjang lebar menjelaskan metodologi memahami as-Sunnah dengan benar dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Memahami as-Sunnah dengan berpedoman pada al-Quran al-Karim;

Tidak ada sebuahpun sunnah yang shahih yang bertentangan dengan ayat-ayat muhkam al-Quran dan penjelasan-penjelasan yang nyata. Ini artinya, as-Sunnah harus dipahami di bawah naungan al-Quran.[28] Selanjutnya Qardhawi menyatakan bahwa adalah hak seseorang Muslim untuk menahan diri terhadap setiap hadits yang tampak kontradiksi dengan ayat-ayat muhkam al-Quran bila ia tidak mendapatkan penta’wilan yang dapat diandalkan.[29]

2. Mengumpulkan hadits-hadits dalam satu objek;

Memahami as-Sunnah dengan benar, hadits-hadits hendaknya dikumpulkan dalam satu objek, di mana yang bersifat mutasyaabih dikembalikan kepada yang bersifat muhkam, yang mutlak dibawa kepada yang terikat, dan bersifat umum ditafsirkan oleh yang bersifat khusus. Dengan demikian pengertian hadits yang dimaksud akan jelas dan tidak akan tumpang tindih.

Dan apabila telah menjadi ketetapan bahwa as-Sunnah memberi tafsiran terhadap al-Qur’an al Karim dan menjelaskannya, dengan pengertian as-Sunnah merinci ayat-ayatnya yang global, menafsirkan yang tidak jelas, mengkhususkan yang umum dan mengikat yang mutlak, maka yang lebih utama hal itu diperhatikan dalam as-Sunnah antara yang satu dengan lainnya.

Mencukupkan diri dengan zahir satu hadits tanpa melihat hadits-hadits lain dan seluruh nash yang berkaitan dengan permasalahan seringkali menjerumuskan orang ke dalam kesalahan dan menjauhkannya dari kebenaran dan tujuan yang terkandung dalam hadits.

3. Menggabungkan atau mentarjih antara hadits-hadits yang kontradiktif;

Pada asalnya nash-nash syari’ah yang telah terbukti kebenarannya tidak mengandung kontradiksi, karena kebenaran tidak akan kontradiksi dengan kebenaran. Maka bila tampaknya ada kontradiksi, maka hal itu hanya penglihatan sepintas yang pada hakikatnya tidak demikian dan merupakan kewajiban kita untuk menghilangkan kontradiksi semu tersebut.

Bila mungkin menghilangkan kontradiksi tersebut dengan memadukan antara dua nash, tanpa paksaan dan penyimpangan dimana masing-masing dari keduanya tetap berlaku, dan ini lebih baik ketimbang mentarjihkan antara keduanya, karena yang terakhir ini berarti mengenyampingkan salah satu dari kedua nash dan lebih mengutamakan yang lainnya.

Hanya saja banyak hadits yang dikatakan telah dinaskh, ternyata setelah diteliti dengan cermat hadits-hadits tersebut tidaklah mansuukh.

Adalah sebaiknya saya sebutkan di sini apa yang dikutip al-Hafidz al-Baihaqi dalam bukunya Ma’rifatus-Sunan Wa-l-Aatsaar dengan isnadnya dari al-Imam asy-Syafi’i, rahimahullah, ia berkata : “Setiap kali dua buah hadits memungkinkan keduanya untuk dipakai sekaligus, maka keduanya harus dipakai, dan tidak boleh salah satunya membatalkan yang lainnya. Dan bila kedua hadits tersebut tidak memungkinkan dipakai karena kontradiksi maka dalm hal seperti ini ada dua kemungkinan :

Pertama : Salah satunya maasukh dan yang lainnya mansuukh, maka yang dipakai adalah yang pertama yang kedua ditinggalkan.

Kedua : Keduanya tetap kontradiksi dan tidak ada petunjuk yang mana yang menjadi naasikh dan yang mana yang menjadimansuukh, maka kita tidak memakai salah satunya dan meninggalkan yang lainnya, kecuali berdasarkan sebab yang menunjukkan bahwa yang dipakai lebih kuat ketimbang yang ditinggalkan. Dan hal itu berarti salah satu dari kedua hadits tersebut lebih kokoh ketimbang yang lainnya, maka kitapun memakai yang lebih kokoh ini. Atau lebih menyerupai kitab Allah ‘Azza wa Jalla atau sunnah Rasulullah saw dalam hal yang selain masalah dimana kedua hadits tersebut kontradiksi, atau karena lebih utama menurut pengetahuan para ahli ilmu, atau lebih benar dalam menganalogikan, atau yang lebih banyak diriwayatkan oleh para sahabat Rasulullah saw. Dan dengan isnadnya, asy-Syafi’i berkata : “Perpaduannya adalah bahwa yang diterima hanyalah hadits kokoh (tsabit) sebagaimana dalam kesaksian yang diterima adalah kesaksian orang yang telah diketahui keadilannya. Maka bila hadits itu tidak diketahui asal usulnya atau orang yang membawanya tidak disukai, maka hal itu seakan-akan orang itu tidak meriwayatkannya, karena hal itu tidak dapat dikatakan sebagai tsaabit.

4. Memahami hadits-hadits dengan berpedoman pada sebab, hubungan dan tujuannya;

Di antara manifestasidari pemahaman yang baik terhadap as-Sunnah an-nabawiyyah adalah memperhatikan sebab-sebab khusus yang menjadi dasar hadits atau keterikatannya dengan alasan tertentu yang tertulis dalam hadits atau dipahami dari kesimpulannya dan dari realita konteks hadits tersebut.

Orang yang mengkaji secara mendalam akan mendapatkan bahwa sebagian hadirs ada yang berdasarkan situasi dan kondisi tertentu untuk merealisasikan kepentingan bersama, atau menghindari kerusakan tertentu, atu mencarikan sokusi erhadap permasalahan yang tengah berlangsung pada waktu itu.

Untuk memahami hadits dengan benar dan mendalam, haruslah mengetahui hubungan-hubungan dalam konteks nashnya yang memberikan penjelasan dan mengatasi situasi dan kondisinya sehingga maksud dari hadits tersebut dapat ditentukan dengan pasti dan tidak memberikan peluang terhadap dugaan-dugaan sepintas atau pengertian eksplisit yang bukan maksud sebenarnya.

Lain halnya dengan as-Sunnah. Ini banyak membahas permasalahann objektif, partial dan temporal, selain mengandung hal-hal yang bersifat khusus dan detail dimana hal itu tidak terdapat dalam al-Qur’an.

Maka harus dibedakan antara yang khusus denga yang umum, antara yang temporal dengan yang abadi, antara yang partial dan yang universal, karena masing-masing mempunyai hukumnya tersendiri, dan memperhatikan konteks, hubungan dan sebab-sebabnya akan membantu memperoleh pemahaman yang benar bagi orang yang mendapat petunjuk dari Allah.

Hadits Yang Berdasarkan Kebiasaan Dapat Berubah. Teks hadits yang berdasarkan kebiasaan temporal yang berlaku pada masa kenabian, kemudian berubah pada masa sekarang, maka tidak apa-apa kita memperhatikan maksud teks tersebut tanpa berpegang pada perkataannya secara tekstual.

5. Membedakan antara sarana yang berubah-ubah dantujuan permanent hadits;

Di antara sebab terjadinya kesalah pahaman terhadap as-Sunnah adalah sebagianorang mencampur-adukkan antara tujuan dan maksud yang permanent dimana as-Sunnah berusaha merealisasikannya dan sarana yang bersifat temporal dan local yang terkadang membantunya untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Maka anda lihat mereka memusatkan perhatiannya kepada sarana ini seakan-akan itulah tujuannya, padahal orang yang memahami as-Sunnah dan rahasia-rahasianya secara mencalam mengetahui dengan jalan yang terpenting adalah tujuannya yaitu yang bersifat permanent dan abadi sedangkan sarana erkadang berubah-ubah mengikuti perubahan lingkunganm kurun waktu, kebiasaan atau faktor-faktor yang mempengaruhi lainnya.

Sarana terkadang berubah mengikuti perubahan zaman dan lingkungan, dan bagaimanapun memang pasti berubah. Maka bila hadits menyebutkan salah satu sarana secara tekstual, maka hal itu dimaksudkan untuk menjelaskan realita, bukannya untuk mengikat kita dengannya sehingga kita hanya terpaku dengannya.

Hadits ini harus diimplimentasikan terhadap setiap sarana yang terus berkembang yang fungsinya sama seperti kuda atau jauh lebih unggul daripadanya.

“Barangsiapa melepas anak panah di jalan Allah maka baginya ini dan itu …”.

Maka tidak hanya terbatas kepada panah, tetapi juga senapan, meriam, peluru kendali atau peralatan perang lainnya yang semakin canggih.

Syaikh Syakir ini memang pakar hadits yang menghabiskan seluruh hidupnya untuk mengabdikan diri kepada hadits, membela as-Sunnah an-Nabawiyyah. Ia adalah ulama salaf yang tulus, seorang yang mengikuti as-Sunnah, bukannya pelaku bid’ah. Namun demikian ia tidak mengartikan gerakan salafiah sebagai stagnasi sebagaimana yang dikatakan ulama salaf lainnya. Salafiah yang benar adalah dengan meniti jalan mereka, sehingga kita juga berijtihad untuk zaman kita sebagaimana dahulu berijtihad untuk zaman mereka. Kita selesaikan realita kita dengan akal kita sendiri bukannya dengan akal mereka tanpa terikat kecuali dengan hal-hal yang pasti yang bersumber dari syari’ah, teks-teksnya yang muhkam dan tujuan-tujuannya yang universal.

6. Membedakan antara hakekat dan majas dalam memahami hadits;

Bahasa Arab adalah bahasa yang kaya dengan majas. Dan haya bahasa yang satu ini memang lebih mengenai sasaran ketimbang hakikat sebagaimana diakui dalam ilmu Balghah. Dan Rasulullah saw adalah bangsa Arab yang paling piawai dalam masalah Balaghah ini. Ucapan beliau berfungsi sebagai penjelasan wahyu Illahi, maka tidak heran hadits-hadits yang diriwayatkan daripada beliau mengandung banyak majas, yang mengungkapkan maksud dengan gaya bahasa yang sangat menukau.

Kita pada masa sekarang ini mengetahui perubahan materi menjadi suatu kekuatan dan perubahan kekuatan menjadi materi, melalui industri dan perbuatan tanpa mengetahui hakekat perubahan-perubahan tersebut, dan kitapun tidak pernah tahu apa yang terjadi setelah itu. Hanya saja akal manusia lemah dan terbatas. Materi, kekuatan, peristiwa dan substansi tidak lain hanyalah istilah untuk mendekatkan hakekat. Maka sebaiknya apa yang harus dilakukan manusia itu adlah beriman dan beramal saleh dan menyerahkan hal-hal gaib kepada Allah Yang mengetahui alam gaib.

Majas, sebagaimana terdapat dalam hadits-hadits berita, juga terdapat dalam hadits-hadits hukum. Maka alhi fiqih harus berhati-hati. Untuk itu mereka mensyaratkan bagi orang yang akan melaksanakan ijtihad agar menguasai bahasa Arab yang dengan pengetahuannya itu ia dapat memahami pengertiannya yang bermacam-macam, sebagaimana yang dipahami bangsa Arab tulen pada masa kenabian dan sahabat, kendati mereka dahulu mengetahuinya secara naluri dan sekarang dengan mempelajarinya. Al-A’rafi berkata :

Aku bukan seorang ahli tata bahasa

Yang dapat mengunyah lidahnya

Akan tetapi dengan naluri aku berkata

Maka jadilah aku pandai berbahasa Arab

Mengabaikan perbedaan antara majas dan hakekat akan sering menimbulkan kesalahan, sebagaimana yang kita lihat dengan jelas pada orang-orang yang terburu-buru mengeluarkan fatwa pada masa sekarang; mereka befitu mudah mengharamkan, mewajibkan, menganggap bid’ah dan menganggap fasik, bahkan mereka mengkafirkan dengan teks-teks yang kebenarannya memang dapat diterima, tetapi kejelasan pengertiannya tidak demikian.

Menutup pintu majas dalam memahami hadits dan berhenti pada pengertian asli yang tekstual sering menjadi kendala bagi kaum intelektual masa kini dalam memahami as-Sunnah, bahkan dalam memahami Islam dan membuat mereka meragukan keshahihannya bila diartikan secara tekstual, sementara bila diartikan secara majas, mereka akan puas dan pemahamannha itu sesuai dengan latar belakang pendidikannya dan tidak benturan dengan logika bahasa dan kaidah agama.

Dalam kesempatan ini saya ingin memberi peringatan bahwa penta’wilan hadits-hadits dan teks-teks dalil pada umumnya dan mengeluarkannya dari pengertiannya secara literal, adalah masalah yang cukup riskan yang tidak boleh mudah-mudah dilakukan kecuali bila ada petunjuk dari dalil aqli dan naqli.

Seringkali hadits-hadits dita’wilkan karena berdasarkan pendangan subjektif, temporal atau local. Kemudian peneliti yang cermat setelah itu mendapatkannya bahwa sebaiknya hadits-hadits tersebut diartikan secara lahirnya.

Penta’wilan yang tidak boleh diterima adalah penta’wilan kaum kebatinan yang tidak berdasarkan dalil, baik dari ungkapan maupun dari konteks perkataan seperti pendapat salah seorang dari mereka tentang hadits : “Makan sahurlah kalian karena dalam makan sahur itu terdapat berkah.”

7. Membedakan antara yang gaib dan yang nyata;

As-Sunnah tidak lepas dari pembahasan masalah alam gaib, sebagaimana berhubungan dalam alam tidak tampak seperti malaikat yang dimobilisasikan Allah untuk banyak tugas : “Dan tidak ada yang mengetahui tentang Alloh SWT. mu melainkan Dia sendiri.”

Sebagian benda gaib ini ada kaitannya dengtan kehidupan di alam barzah, yaitu kehidupan setelah mati sebelum terjadinya kiamat yang berhubungan dengan interogasi kubur, keni’matannya atau siksaannya. Dan sebagian lainnya berkaitan dengan kehidupan akhirat, kebangkitan, dikumpulkannya seluruh manusia di padang mahsyar, peristiwa-peristiwa mengerikan pada hari kiamat, syafa’at yang besar, timbangan, hisab, jembatan, surga dengan segala macam keni’matan di dalamnya yang bersifat material dan non-material dan tingkatan penghuninya, dan neraka dengan segala macam siksanya, baik yang bersifat material dan yang non-material dan tingkatan para penghuninya.

Oleh karena itu para ulama kita menetapkan bahwa agama dating membawa ajaran yang mengajak akal untuk berdialog tetapi ia tidak mungkin membawa ajaran yang dapat dirubah oleh akal. Maka bagaimanapun juga, dalil naqli yang shahih tidak bakal bertentangan dengan akal murni.

Apa yang diduga sebagai kontroversi antara keduanya adalah sebagai akibat terjadinya kesalahan, baik karena dalil naqlinya yang tidak shahih, atau akalnya tidak murni. Maksudnya, apa yang diduga manusia sebagai ajaran agama sebetulnya bukanlah ajaran agama, atau apa yang diduga sebagai ikmu atau akal ternyata bukan ikmu dan akal.

Sikap yang benar yang diterima logika iman dan tidak ditolak logika akal adalah kita mengatakan terhadap hal-hal gaib yang telah ditetapkan agama : “Kami mengimani dan membenarkannya”. Sebagaimana terhadap hal-hal yang berkaitan dengan ibadah kita katakana : “Kami mendengar dan kami mentaatinya”.

Kesalahan yang mendasar yang mereka lakukan adalah mengkiaskan hal yang gaib dengan yang nyata, kehidupan akhirat dengan kehidupan dunia, yaitu mengkiaskan sesuatu yang berbeda. Setiap alam mempunyai peraturan sendiri.

Oleh karena itu Ahlus Sunnah mengakui bahwa orang-orang beriman bakal melihat Allah dengan kesepakatan bahwa penglihatan tersebut tidak sama dengan penglihatan yang kita kenal sekarang yang menggunakan mata dalam kehidupan sehari-hari. Penglihatan tersebut sebagaimana dikatakan al-Imam Muhammad Abduh adalah penglihatan yang tidak diketahui cara dan batasannya.

8. Mengkonfirmasi pengertian kata-kata hadits.

Pengertiannya dapat berubah sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi. Dan hal ini diketahui oleh orang-orang yang mempelajari perkembangan bahasa dan perkataannya dan pengaruh situasi dan kondisi terhadapnya.

Ada kalanya orang memberikan istilah terhadap perkataan untuk menunjukkan satu pengertian tertentu, dan masalah istilah ini tidak perlu dipertentangkan. Hanya saja yang patut dikhawatirkan adalah perkataan yang tersebut dalam as-Sunnah juga dalam Al-Qur’an diartikan dengan istilah baru ini. Di sinilah timbulnya kekeliruan.

Al-Imam Al-Ghazali telah memberikan peringatan terhadap pergantian nama-nama beberapa ilmu dan pengertian dari apa yang dikenal pada masa dahulu. Ia memperingatkan tentang bahaya perhantian ini yang dapat menyesatkan pemahaman orang yang tidak mendalami batasan pemahaman. Untuk itu ia menulis satu pasal dalam kitab Ilmu dalam bukunya al-Ihya. Ia mengatakan :

“Ketahuilah bahwa sumber tercampur-baurnya ilmu-ilmu tercela dengan ilmu-ilmu agama adalah perubahan nama-nama terpuji dan dengan tujuan-tujuan buruk mengalihkannya kepada pengertian yang tidak dikehendaki ulama salaf yang saleh dan kurun pertama, yaitu ada lima perkataan : Fiqih, Ilmu, Tauhid, Tadzkir dan Hikmah. Kesemuanya ini nama-nama terpuji yang menjadi predikat orang-orang yang mempunyai kedudukan dalam agama. Akan tetapi sekarang nama-nama tersebut dialihkan kepada pengertian tercela sehingga orang yang mempunyai predikat tersebut tidak disukai orang karena tersebarnya penerapan nama-nama ini kepada mereka.

Bila kelima perkataan ini yang menurut al-Ghazali telah berubah pengertiannya dalam lapangan ilmu, maka selain itu banyak perkataan telah berubah pengertiannya dalam banyak lapangan yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.

Dan perubahan ini masih terus berlangsung mengikuti perubahan situasi dan kondisi dan perkembangan manusia sampai perbedaannya sangat begitu jauh antara pengertian agama yang asli terhadap perkataan tersebut degan pengertian kebiasaan atau istilah yang baru. Dari sinilah timbulnya kesalahan pahaman yang tidak disengaja dan penyimpangan yang disengaja.

Qardhawi menyarankan bahwa diperlukan (1) Referensi setelah al-Qur’an dalam lapangan syari’ah, hukum dan fiqih, dan dalam lapangan da’wah, pendidikan dan bimbingan memerlukan dedikasi yang sesuai dengan kedudukannya dan kedudukan umat Islam pada permulaan abad kelima belas hijriah dan di awal abad kedua puluh satu masehi. Yaitu dedikasi yang memerlukan kerja sama antara berbagai Yayasan Islam dalam bidang keilmuan sehingga as-Sunnah tampak sebagaimana mestinya; (2) As-Sunnah memerlukan adanya ensiklopedi yang mencakup rijaa-al-Hadiits, memuat semua perawi, lengkap dengan deskripsi dan pengenalan tentang mereka, tentang penilaian dapat dipercaya atau lemahnya, sampai juga perawi-perawi yang memalsukan hadits; (3) ensiklopedi yang memuat matan hadits lengkap dengan sanad dan semua jalannya, yang mencakup semua as-Sunnah yang diriwayatkan dan dihubungkan kepada Rasulullah saw, dari setiap yang diduga yang memungkinkan, sumber-sumber yang dicetak dan berbagai manuskrip yang ditulis sampai akhir dua pertiga abad kelima hijriah; dan (4) As-Sunnah memerlukan syarah-syarah baru yang semakin memperjelas kebenaran yang masih terhalang, meluruskan pemahaman-pemahaman yang keliru, membantah keraguan dan tuduhan-tuduhan batil yang ditulis dengan bahasa dan logika orang sekarang.[30]

Paling tidak, kini saatnya kita kembali kepada seruan al-Gazali yang menyatakan bahwa para ulama hendaknya tetap berjalan di atas garis yang sudah digaris oleh para ulama yang telah lalu dan menghendaki kemurnian agama, tidak perlu menyertai penguasa sehingga mencari ilmu agama supaya dapat dipergunakan oleh para penguasa dan mencapai kebesaran dan kemegahan.[31]

Larangan menentang Rasul dan menyalahi as-Sunnah

Jauhnya masa hidup Rasul saw dengan umat Islam dewasa ini, memunculkan ragam pendapat terhadap pemahaman al-Quran dan as-Sunnah. Hal ini suatu hal yang tak dapat dihindari, apalagi perbedaan pendapat itu telah terjadi sejak zaman Rasululloh saw, apatah lagi umat Islam yang hidup jauh di belakang Rasul saw. Memahami as-Sunnah selama kaidah-kaidahnya diikuti dengan benar, akan menghasilkan khazanah keilmuan yang lengkap tentang hukum Islam. Namun, jika tata cara pemahaman itu ke luar dari koridornya, maka boleh jadi bukan hanya kesalahan namun justru malah masuk ke wilayah mengada-ada aturan yang mengatasnamakan dari al-Quran atau as-Sunnah. Padahal ancaman Rasulullah saw telah sangat tegas dengan sabdanya :

مـَنْ كـَذ َبَ عـَلـَىَّ مـُتـَعـَمـِّد ًا فـَلـْيـَتـَبـَوَّ أ ْ مـَقـْعـَد َه ُ مـِـن َ الـنـَـار.

Artinya : Barang siapa yang mengadakan dusta atasku dengan sengaja, maka hendaklah dia siapkan tempat duduknya di api neraka. (Mutawatir diriwayatkan Imam Bukhari).[32]

Ayat-ayat yang melarang kita menyalahi Rasul

Setelah kita memperhatikan ayat-ayat yang memerintahkan kita mengikuti Allah dan Rasul-Nya (mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah Rasul), marilah kita memperhatikan pula ayat-ayat Allah yang mengenai orang-orang yang menentang Rasul, menyalahi Sunnah dan membuat bid’ah.

Berfirman Allah s.w.t :

Ø Q.S. An-Nisaa : 115

Artinya : ”Barangsiapa melawan Rasul sesudah terang kepadanya petunjuk yang dibawa Rasul dan mengikut jalan yang selain dari jalan orang yang beriman benar, Kami (Allah) berikan kepadanya memerintahi apa yang telah diperintahi. Kemudian Kami membakarnya dalam jahannam; jahannam itu, sejahat-jahat tempat.

Ø Q.S. An-Nur : 63

Artinya : Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.”

Kedua ayat yang suci ini memperingatkan orang-orang yang menyalahi Rasul dan menyalahi sunnahnya. Masuk kedalam menyalahi sunnahnya, membuat bid’ah.

Permasalahan tentang bid’ah

Hal yang tersebut ini dapat ditinjau dari beberapa segi :

1. Segala keterangan Agama mengenai masalah ini bersifat umum, tak ada yang dikhususkan, (yakni yang berkenaan dengan soal bid’ah 'ini). Segala keterangan yang umum, harus dipandang umum hingga ada dalil yang menghilangkan keumumannya.

2. Ulama Salaf, baik Shahabat maupun Tabi’in, sangat menjelekkan bid’ah dan orang-orang yang membuatnya.

3. Pengertian bid’ah (definisinya) juga menunjuk kepada demikian. Mengerjakan bid’ah, dipandang menentang Syara’ dan melawaninya.

Maka pekerjaan yang dipandang demikian, tentulah tidak dapat dibagi kepada : Baik dan buruk. Semuanya mesti di hukum buruk : karena baik naqal maupun aqal, tidak ada yang membaikkan pekerjaan melawani Syara’. Diberitakan Bukhary Muslim, bahwa Nabi bersabda : ”Apabila aku memerintahkan kamu sesuatu urusan, maka kerjakanlah urusan itu seberapa kamu sanggupi, dan yang aku cegah kamu mengerjakannya, hendaklah kamu tinggalkan sama sekali.”

Beberapa pendapat tentang hal ini dijelaskan panjang lebar dalam buku M. Hasbi Ash-Shiddieqy (1967) sbb. :

1. Asy Syafi’i menyatakan : ”Segala para shahabat, tabi’ien dan tabi’ittabi’ien telah ber-ijma’ bahwa seseorang yang telah terang kepadanya betapa sunnah Nabi dalam sesuatu urusan, tidak boleh lagi baginya, meninggalkan sunnah itu karena perkataan seseorang.”

2. Imam Malik berkata :

”Segala orang yang selain dari Rasul, diterima dan ditolak perkataan-perkataannya. Orang yang diterima segala perkataannya, hanyalah Rasul s.a.w. sendiri.”

3. Diriwayatkan Abu Dawud, At-Turmudzy – menurut penetapan At-Turmudzy hadits riwayatnya itu, hasan shahih dari Al’Irbadl bin Sariyah, ujarnya :

”Pada suatu hari Rasul menasihati kami para Shahabat. Beliau memberikan suatu pengajaran yang mengecutkan hati kami semua dan mencucurkan air mata. Lantaran itu kami berkata kepada beliau : Ya Rasulullah, pengajaran ini seakan-akan penghabisan dari seseorang yang akan pergi, atau pengajaran orang yang hendak berpindah. Kemudian Rasul berkata : ”Saya pesankan kepadamu supaya kamu senantiasa bertaqwa kepada Allah, senantiasa mendengar dan menurut, walaupun yang memerintah kamu itu seorang hamba budak belian, selama suruhannya sesuai dengan kemauan Syara’. Ketahuilah, bahwa orang yang lama hidup dari antara kamu, kelak akan melihat perselisihan yang banyak. Karena itu, berpeganglah dengan seteguh-teguhnya kepada SunnahKu dan sunnah khalifah-khalifahku. Gigit yang demikian dengan gerahammu. Dan jauhi olehmu akan segala pekerjaan-pekerjaan yang diada-adakan. Karena bahwasannya tiap-tiap yang diada-adakan, bid’ah. Tiap-tiap bid’ah, sesat dan tiap-tiap kesesatan, membawa ke dalam neraka.”

4. Diriwayatkan Muslim dari Jabir ibn Abdullah, ujarnya :

Ø Dalam salah satu khurbah, Rasul menerangkan : ”Sebaik-baik pembicaraan, itulah Kitabullah; sebaik-baik perjalanan, itulah perjalanan Muhammad s.a.w., sedang sejahat-jahat pekerjaan, ialah yang diada-adakan. Tiap-tiap yang diada-adakan, bid’ah. Tiap-tiap bid’ah, sesat. Tiap-tiap yang sesat, dalam neraka.”

Ø ”Bahwasannya syaithan, telah putus asa dari memperoleh sembahan di negerimu ini. Karena itu syaithan merasa senang hatinya bila dia diturut dalam urusan-urusan yang kamu pandang rendah, tidak berarti. Lantaran demikian saya memperingatkan kamu sekalian. Bahwasannya aku telah meninggalkan untukmu pedoman yang selama kamu berpegang kepadanya, kamu tiada sesat, yaitu Kitabullah dan Sunnah NabiNya.”

5. Hadist-hadits yang mencela bid’ah dan mencerca orang yang mengerjakannya.

  • di dalam Shahih Al Bukhary/ Muslim dan Sunan Abi Daud. Kita dapati hadits yang diriwayatkan dari ’Aisyah. Bahwa Nabi bersabda :

Ø ”Barang siapa mengada-adakan dalam agama kami ini, sesuatu yang tidak ada di dalamnya, maka yang diada-adakan itu, tertolak.”

Ø ”Barang siapa mengerjakan sesuatu pekerjaan yang tidak ada dalam Agama kami, maka yang dikerjakan itu, tertolak.”

Ø Diberitakan Muslim, dari Shahaby Jaabir, ujarnya :

”Adalah Rasulullah apabila memberi pengajaran, bersemangat, matanya merah, suaranya menggema, perhatiannya sangat penuh. Beliau di kala itu seakan-akan seorang komandan yang sedang menghardik tentara. Rasul bersabda : ”Kamu senantiasa didatangi musuh, pagi dan petang; aku dibangkit sanat berdekatan dengan qiamat. Jauh diantara keduanya, adalah setamsil jauh telunjuk dengan jari tengah. Sesudah itu beliau bersabda pula :

Sebaik-baik hadits, Kitabullah, sebaik-baik perjalanan, perjalanan Muhammad, sedang sejahat-jahat pekerjaan, hanyalah yang diada-adakan dan tiap-tiap bid’ah itu sesat.

Nabi berkata : Saya lebih utama terhadap orang muslim dari dirinya. Karena itu, barang siapa meninggalkan harta, keluarganya mewarisi hartanya itu. Adapun orang yang meninggalkan hutang atau anak, sedang yang menjagainya tak ada, maka sayalah yang membayar hutangnya dan yang menjaga anak-anaknya itu.

Ø Diberitakan Ath-Thabaraany dari shahaby Anas ibn Malik r.a bahwa Nabi bersabda :

”Sesungguhnya Allah menutup taubat dari tiap-tiap orang bid’ah, sehingga orang itu meninggalkan bid’ah.”

Ø Diberitakan Ibn Majah dari Hudzaifah, bahwa Nab"i bersabda :

Allah tiada menerima sesuatu amal dari orang bid’ah, baik shalat-nya, puasanya, shadaqahnya, ’umrahnya, jihadnya, taubatnya dari dosa yang lain, sunnat-sunnatnya, keadilannya (selama ia belum meninggalkan bid’ah). Ia keluar dari Islam, sebagai rambut keluar dari tepung yang telah diremas dengan air.”

Ø Diberitakan Muhammad ibn Muslim Az Zuhry, bahwa Nabi bersabda :

”Barang siapa menghormati, memuliakan orang bid’ah, berartilah ia menolong orang yang merobohkan Islam.”

6. Kemudian, untuk mengetahui pendapat-pendapat Shahabat dalam soal prinsipil ini, perhatikan ujaran-ujaran para Shahabat yang di bawah ini :

§ Kata HUDZAIFAH r.a :

”Yang paling kutakuti terhadap ummat Islam dua perkara. Pertama, mereka melebihi atau mengutamakan apa yang mereka lihat diperbuat oleh masyarakatny, atas apa yang mereka ketahui dari sunnah Nabi. Kedua, mereka sesat dengan tidak mereka sadari.” Sesat yang tidak disadari, menurut pendapat SUFYAAN ialah : bid’ah.”

§ Kata IBNU MAS’UD r.a :

”Ikutilah sunnah Nabimu, jangan kamu mengada-adakan. Karena jika kamu meninggalkan sunnah Nabimu, pasti kamu akan sesat adanya.

§ Kata ’UMAR IBNUL KHATHTHAB r.a :

”Islam ini diruntuhkan oleh tiga perkara. Pertama, kegelinciran ulama, (salah fahamnya). Kedua, perdebatan kaum munafik. Ketiga, hukum (pemerintahan) pembesar-pembesar negara yang menyesatkan.”

§ Kata IBN ABBAS r.a :

”Tetaplah kamu bertaqwa kepada Allah dan berlaku lurus. Ikutilah sunnah dan tinggalkankah bid’ah.”

§ Kata IBNU UMAR r.a :

”Segala bid’ah sesat, walaupun dipandang baik oleh manusia.”

7. Untuk mengetahui betapa jalan akal memburuk-burukkan orang bid’ah, maka perhatikan uraian di bawah ini :

Ø Agama Islam telah sempurna susunannya, sebelum Rasul wafat dengan nash Al-Qur’an sendiri. Tak dapat lagi ditambah atau dikurangi tertib susunannya, istimewa dalam soal ibadah. Segala kandungan Al-Qur’an, istimewa yang berkenaan dengan perike’ibadatan, telah diulaskan Rasul sebelum beliau kembali ke rahmatullah. Semua urusan, baik urusan dunia, maupun urusan akhirat, telah cukup diterangkan dasar-dasar aslinya. Maka, karena itu orang yang menganut sesuatu bid’a’h berarti berpendapat : bahwa Agama belum sempurna didatangkan Rasul, masih ada beberapa ’ibadat yang wajib, atau sunnat yang belum diterangkan dan belum pernah dikerjakan Rasul. Karena itu, orang bid’ah menambahkannya. Sekiranya orang bid’ah itu memandang bahwa Agama telah cukup sempurna dengan sebanyak yang dibawa Rasul, tentulah tidak ia mengadakan bid’ahnya lagi.

Ø Imam Majisyun berkata :”Aku dengar Imam Maalik berkata : ”Orang yang mengadakan sesuatu bid’ah dalam Islam, ia memandang bid’ahnya itu baik, berarti ia menda’wa, bahwa Muhammad s.a.w telah berkhianat, menyembunyikan Agama. Allah berfirman dalam Q.S. Al-Maidah ayat 5 :

Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.

Ø Para Mubtadi’ dipandang melawan Syara’ (Allah), karena Syara’ telah menentukan beberapa jalan yang dijalani hamba-Nya. Jalan-jalan itu telah cukup diterangkan cara-caranya. Allah memerintahkan menusia melaksanakan jalan-jalan itu dengan awamirNya dan dengan wa’daNya. Dan Allah telah menengah mereka dengan nawahi-nawahiNya dan wa’idNya. Allah menegaskan bahwa kebaikan, kejahatan hanya terdapat pada penyimpangan dari jalan-Nya. Dan Allah telah mengirim RasulNya untuk menjadi rahmat bagi segala ’alam. Itu semuanya telah tetap. Kemudian para mubtadi’, tidak membenarkan yang demikian dengan jalan ia menambah Agama : dengan jalan menyangka ada lagi jalan-jalan yang harus dilalui, dikerjakan, olehnya atau jemaahnya. Dia menyamakan pengetahuannya dengan pengetahuan Syara’, bahkan seakan-akan dia mubtadi’, tidak syak lagi bahwa si mubtadi’, itu telah keluar dengan sendirinya dari garis Islam. Kalau bukan ini maksudnya, terikatlah ia dengan kesesatan sahaja. Tak dapat disangkal bahwa si mubtadi’, adalah seorang pengikut hawa nafsu, karena sesuatu itu jika tidak menuruti Agama, tentulah mengikuti hawa nafsu. Mengikuti nafsu syahwat, itulah kesesatan.

8. Nash-nash ’Ulama tentang hal membagi sunnah kepada fi’liyah dan tarkiyah

Ø Kata Al-Qasthalany :

”Apabila Rasulullah tiada mengejakan sesuatu pekerjaan, maka tiada mengerjakan pekerjaan itu, sunnah, sebagaimana apabila Rasul mengerjakan sesuatau, maka mengerjakannya, sunnah juga. Tidak boleh kita sama ratakan yang beliau kerjakan dengan yang beliau tinggalkan.

Ø Kata Al Allamah Ibnu Hajar Haitamy :

”Bid’ah syar’iyah, ialah : sesuatu yang tidak berdasarkan dalil syar’y yang menunjukkan kepada wajibnya, atau sunnatnya. Jika berdasarkan dalil syar’y, tiadalah dinamai bid’ah syar’iyah, walaupun pekerjaan itu tiada dipraktekkan di masa Nabi sendiri. Karena itu, mengeluarkan orang Yahudi dan Nashara dari kepulauan Arab, tiada dipandang bid’ah, walaupun hal itu tidak diperbuat di masa Nabi sendiri, lantaran ada perintah yang menyuruh kita mengeluarkan mereka itu.

Ø Kata Al Imam Ash Shan’aany :

“Sesuatu yang didapati sebab mengerjakannya di masa Nabi, tapi tiada beliau kerjakan, maka membuatnya sesudah Nabi, bid’ah hukumnya : tidak sah didasarkan kepada qiyas, ataupun selainnya.

Ø Kata Al Imam Asy Syaathiby

“Pekerjaan-pekerjaan yang ditinggalkan Nabi terbagi dua :

- Pekerjaan-pekerjaan yang tidak dikerjakan lantaran tak ada yang menghendakinya di masa Nabi, seperti : kejadian-kejadian yang terjadi sesudah wafat Nabi. Lantaran itu, berhajatlah para penyelidik membuat pemerisaan dan menetapkan hukum-nya berdasarkan QA’EDAH-QAEDAH UMUM yang telah ditetapkan Agama sendiri. Ke dalam bagain inilah dimasukkan segala pekerjaan yang telah ditetapkan para Salaf, seperti : mengumpulkan Al-Qur’an dalam sebuah mushhaf, mentadwinkan ilmu dalam kitab. Pekerjaan-pekerjaan ini tak ada yang membutuhinya di masa Rasul sendiri. Timbul kebuAlloh SWT. , sesudah wafat Rasul s.a.w.

- Pekerjaan-pekerjaan yang tidak dikerjakan Syara’, padahal ada yang menghendakinya, ada muqtadlinya dan sebabnya di zaman wahyu pun ada, tetapi Syara’ tidak memberikan sesuatu hukum, tidak mengerjakan, tidak menyuruh kita mengerjakan, maka mengerjakan yang tidak Nabi kerjakan itu, bid’ah adanya, menyalahi maksud Syara’. Syara’ bermaksud tidak mengerjakan yang demiian di tempat itu. Maka, jika kita kerjakan, berartilah kita mengadakan sesuatu di tempat yang Syara’ bermaksud tidak mengadakannya. Atas dasar inilah diharamkan tahlil (kawin cinta buta) dan dipandangnya bid’ah madzmumah (tercela).

Ø Kata Al Imam Ibnul Qaiyim :

“Ketiadaan didapati Nabi mengerjakan sesuatu, terbagi dua :

- Dengan jelas tegas dinyatakan, bahwa Nabi tiada mengerjakannya, seperti : Nabi tiada memandikan orang-orang syahid Uhud, tiada menyuruh dibaca adzan dan iqamat di sembahyang hari raya. Pekerjaan-pekerjaan itu dengan jelas tegas tiada dikerjakan Nabi. Terang diketahui bahwa Nabi tiada mengerjakannya.

- Tidak adanya orang-orang yang menerangkan bahwa Nabi ada mengerjakan.

Tegasnya, seseorang yang mengadakan sesuatu pekerjaan untuk mendekatkan diri kepada Allah, baik yang diada-adakan itu perbuatan atau perkataan, berarti ia membuat suatu aturan dalam Agama, padahal Allah tiada mengidzinkan. Karena itulah tiap-tiap bid’ah yang mengenai ibadat semata-mata, tak ada yang baik.

Diberitakan Ath Thabarany dengan sanad yang shahih, bahwa Rasul berkata : ”Tiada aku tinggalkan sesuatu yang mendekatkan dirimu kepada Allah, melainkan aku telah suruh kamu mengerjakannya. Dan tiada aku tinggalkan sesuatu yang menjauhkan kamu daripada Allah, melainkan aku telah mencegah kamu mengerjakannya.”

Bid’ah dipandang dari segi Pokok dan Dasarnya

Definisi Bid’ah

1. Kata Asy Syaathiby dalam Al I’tishaam :

Lafadh (term) bid’ah pada asalnya, bermakna :

”Segala yang diada-adakan dalam bentuk yang belum ada contohnya.”

Di antara kata bid’ah yang dimaknakan demikian, ialah kata bid’ah yang terdapat dalam Firman Alloh SWT. :

  1. Q.S. Al-Baqoroh ayat 117

Artinya : ”Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya: "Jadilah". Lalu jadilah ia.”

Yakni : mengadakan atau menciptakannya dengan rupa bentuk yang belum ada contah yang mengetahuinya, yang seindahnya.”

b. Q.S. 9. S. 46 : Al Ahqaf

Artinya : Katakanlah: "Aku bukanlah rasul (yang bid’ah) pertama di antara rasul-rasul dan aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak (pula) terhadapmu. Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku dan aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan".

Yakni : bukankah aku seorang Rasul yang baharu didatangkan ; belum ada yang mendahului.

2. Kata Ar Raaghib dalam Al Mufradaat :

Bid’ah menurut bahasa, ialah : “menciptakan sesuatu tanpa mempergunakan alat, maddah (stof, atau benda), masa dan tempat.”

Ahli-ahli Agama telah bercabangan faham dalam soal pengertian bid’ah, karena berlainan pandangan dan tinjauannya.

Di sini kita kemukakan dua pendapat yang diberikan oleh dua golongan yang berlainan pendapatnya.

a. Golongan Pertama (Golongan Ahli Ushul)

Golongan ini dibagi dua :

Pertama, golongan yang memasukkan segala urusan yang diada-adakan dalam soal ibadat saja ke dalam bid’ah.

Golongan pertama dari golongan ahli ushul, yakni : golongan yang memasukkan ke dalam kata bid’ah urusan-urusan yang diada-adakan dalam soal ibadat melulu, menta’rifkan bid’ah sebagai di bawah ini :

“Bid’ah itu, ialah : thariqat (jalan yang dijalani) yang diada-adakan dalam Agama, yang dipandang menyamai syari’at sendiri; dimaksud dengan mengerjakannya, ialah berlebih-lebihan dalam soal ber-ibadat kepada Allah s.w.t.

Kedua, golongan yang memasukkan dalam kata bid’ah segala urusan yang sengaja diada-adakan, baik dalam urusan ’ibadat, maupun dalam urusan ’Adat.

Golongan Kedua, yang memasukkan ke dalam kata bid’ah segala urusan yang diada-adakan, baik mengenai ‘ibadat, maupun mengenai adat, menta’rifkan bid’ah dengan arti : “Bid’ah itu, ialah thariqat (jalan yang dijalani) yang diada-adakan dalam Agama, yang dipandang menyamai syari’at sendiri; dimaksud dengan mengerjakannya, apa yang dimaksud dengan mengerjakan Agama sendiri.

b. Golongan Kedua (Golongan Fuqaha) :

Golongan Fuqaha pun sebagai golongan Ahli Ushul juga. Yakni mempunyai dua macam pengertian mengenai bid’ah ini.

- Ada Fuqaha yang memandang bid’ah : segala perbuatan yang tercela saja, yang menyalahi Kitab, atau Sunnah, atau Ijma’.

- Ada Fuqaha yang memandang bid’ah : segala yang diada-adakan sesudah Nabi, baik kebajikan maupun kejahatan, baik Ibadat maupun Adat (urusan keduniaan), seperti : makan minum dan pakaian.

Golongan Fuqaha yang hanya memandang bid’ah segala perbuatan yang tercela saja yang menyalahi Kitab, atau Sunnah, atau Ijma’, menta’rifkan bid’ah begini :

Abu Syaamah dalam kitab Al Baa’its menerangkan, bahwa Asy Syafi’iy berpendapat : Bid’ah itu dua. Bid’ah mahmudah (bid’ah terpuji) dan bid’ah madzmumah (bid’ah tercela). Mana yang sesuai dengan Sunnah, itulah yang terpuji. Mana yang menyalahi Sunnah, itulah yang tercela.

Pembagian Bid’ah

Dari uraian terdahulu nampak bahwa bid’ah yang nyata adalah bid’ah dalam konteks memutuskan perkara yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dalam peribadatan dengan tidak bersandar kepada dalil yang telah ada, baik dari Al-Quran, As-Sunnah, Sahabat, Para Ulama/ jumhur, maupun ijma’ ulama yang ketat dalam menentukan hukum. Adapun bentuk-bentuk bid’ah terbagi dalam beberapa masalah yang menurut M. Hasbi Ashshiddieqy (1967 : 56 - 64) terdapat 13 hal, yaitu :

1. Fi’liyah (membuat sesuatu perbuatan).

2. Tarkiyah (meninggalkan sesuatu perbuatan).

3. ‘Amaliyah (yaitu bid’ah-bid’ah yang dikerjakan dengan anggota, dengan panca-indra yang lima).

4. I’tiqadiyah (yaitu memegang sesuatu kepercayaan (i’tiqad) yang berlawanan dengan yang diterima dari Rasul s.a.w).

5. Zamaniyah (yaitu meletakkan di masa yang tertentu).

6. Makaniyah (yaitu meletakkan sesuatu ibadat di tempat yang tertentu).

7. Haliyah (yaitu meletakkan sesuatu ibadat dalam keadaan yang tertentu).

8. Haqiqiyah.

9. Idlafiyah.

10. Kulliyah (yaitu yang mendatangkan kecederaan yang umum)

11. Juz-iyah (yaitu yang merusakkan sesuatu pekerjaan saja).

12. ’Ibadiyah (yaitu yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah).

13. ’Adiyah (yaitu yang dikerjakan bukan dengan maksud ibadat).

”Pada suatu hari Rasulullah memberikan kepada kami suatu pengajaran yang sangat memberi bekas pada jiwa kami. Gentar karenanya jiwa kami, bercucuran karenanya air mata kami. Karena itu, kami berkata : Ya Rasulullah, apakah kami ini mendengar masehat penghabisan daripada Engkau ? Jika benar sebagai sangka kami, washiyatkanlah kepada kami, washiyat yang akan kami pergunakan untuk pedoman kami.” Mendengar permintaan shahabat yang demikian, Nabi pun bersabda : ”Saya washiyatkan kepadamu semua, supaya kamu mendengar dan menurut segala apa yang diperintahkan kepadamu, walaupun yang menjadi kepalamu itu seorang habsyi (selama perintahnya itu sesuai dengan kehendak Allah dan RasulNya). Sesungguhnya siapa saja diantaramu yang hidup lama lagi, pasti melihat persengketaan yang banyak sekali terjadi dalam masyarakat (dengan timbul fitnah dan bid’ah). Maka (apabila kamu telah melihat yang demikian), hendaklah kamu memegang dengan seteguh-teguhnya kepada sunnahku dan sunnah-sunnah yang disepakati oleh khaliefah-khaliefahku yang rasyidin yang mendapat petunjuk; gigit akan dia dengan gerahammu; dan jauhkanlah dirimu dari pekerjaan-pekerjaan yang diada-adakan, dalam agama (yakni jangan kamu mengada-adakan dan jangan kamu kerjakan yang orang lain ada-adakan) karena Tiap-tiap bid’ah Sesat, (Tiap-tiap yang diada-adakan bid’ah), Tiap-tiap sesat dalam neraka.”[33]

Tersebut dalam As-Sunan wal Mubtada’at yang disadur Hasbi, bahwa bid’ah itu terbagi dua bagia yaitu :

1. Bid’ah diniyah (syar’iyah), ialah segala yang diadakan dalam agama sesudah sempurnanya agama dan yang diada-adakan sesudah Nabi saw. Bid’ah diniyah ini terbagi empat yaitu :

a. Bid’ah Mukaffirah, bid’ah yang menjadikan kufur, seperti berdoa kepada selain Allah bswt yakni kepada keramat-keramat, kubur-kubur dsb.

b. Bid’ah Muharrimah, bid’ah yang dipandang dosa besar, seperti : bertawasul kepada Allah swt dengan orang-orang yang telah mati, meminta do’a daripada orang yang telah mati, menyalakan lampu di kuburan dsb.

c. Bid’ah Makruhah karahah tahrim, bid’ah yang haram, seperti mengerjakan sembahyang dhuhur sesudah jum’at, perayaan nisyfu sya’ban, malam kelahiran Nabi, membaca shalawat dan salam sesudah adzan beramai-ramai dengan suara yang keras, dsb.

d. Bid’ah Makruhah karahah tanzih, bid’ah yang dihukum makruh dan tidak haram, seperti : berjabat salam sesudah sembahyang, menjaharkan bacaan suratulkahfi dalam masjid, do’a asyura, do’a awal tahun, dan sebagainya.

2. Bid’ah dunyawiyah, ialah menciptakan bid’ah dalam urusan keduniaan, kemanfaatan penghidupan. Bid;ah ini tidak tercela, tidak tercegah, bahkan tersuruh, terpuji. Pengarang As-Sunan wal Mubtada’at berkata, ”Inilah yang sesuai dengan pendapat Syafi’i; bid’ah itu ada dua, ada yang terpuji, ada yang tercela. Yang terpuji, yang tersandar kepada Sunnah, yang tercela yang menyalahi sunnah.”[34]

Hanya di sini yang perlu ditegaskan setegas-tegasnya, bahwa : ”Sesuatu ibadat yang tiada dikerjakan Nabi dan tidak masuk ke bawah qa’edah Agama, baik oleh yang membagi bid’ah kepada lima, maupun oleh yang tidak membaginya kepada lima, menetapkan ketiadaan bolehnya kita beribadat yang semacam itu.”

Dalam soal ta’abbudy, kita dimestikan menurut. Maka jika datang bid’ah ke dalam pekerjaan-pekerjaan ’aady, dalam cara-cara yang sudah ada penerangan Syara’, bid’ah itu dipandang buruk. Jika bukan dalam cara-cara yang telah ada ketentuan Syara’, tiadalah dipandang buruk bid’ah yang datang itu. Tegasnya, jika datang bid’ah dalam pekerjaan-pekerjaan ’aady yang ditetapkan hukumnya oleh Agama, seperti perkawinan, maka bid’ah yang datang itu, dipandang keji. Jika pekerjaan itu adat manusia semata, Agama tidak mengadakan aturan apa-apa terhadapnya, seperti dalam hal potongan pakaian, cara makan, cara minum, bid’ah-bid’ah yang datang kepadanya, tidak dipandang keji.

Alat Perbuatan Bid’ah

Terdapat beberapa hal yang mencederai hukum asli al-Islam yang mendorong tumbuhnya perbuatan bid’ah, yang diuraikan oleh M. Hasybi Ashshddieqy (1967 : 88 - 98) sebagai berikut :

1. Penggunaan alasan/syubhat untuk menghilangkan keumuman hadits kullu bid’atin dlalaalah; Syubhat yang dikedepankan antara lain :

Ø Shalat tarawih, shalat malam di bulan Ramadhan.[35]

Ø Adzaan ’Utsman.[36]

Ø Mafhum terhadap hadits, (1) ”Barang siapa membuat sesuatu sunnah yang baik, ia mendapat pahalanya dan pahala orang yang mengerjakannya dengan tidak dikurangi pahala yang diberikan kepada yang mengerjakan sendiri. Barang siapa membuat sunnah yang buruk, ditimpakanlah atas dirinya dosa bid’ahnya dan dosa orang yang mengerjakan bid’ahnya itu, sedikitpun tidak dikurangi (H.R. Muslim)[37]; (2) ”Barang siapa mengadakan bid’ah dlalalah (yang sesat) yang tidak menyenangkan Allah swt dan Rasul-Nya, ditimpakanlah atasnya segala dosa orang yang mengamalkan bid’ahnya itu, sedikitpun tidak dikurangkan”. (H.R. Turmudzy)[38]; (3) ”Sesuatu yang dipandang baik oleh orang Islam, dipandang baik juga oleh Allah swt.” Ini bukan hadits marfu’, namun atsar yang diterima dari Ibn Mas’ud, dengan demikian tidak bisa dijadikan hujjah.[39]

2. Menetapkan ibadat dengan alasan istihsaan;

Ahli bid’ah menjadikan istihsan sebagai hujjah dan memandang bagus dengan akal artinya ayat pada Q.S Az-Zumar : 17, 18 23, 55; yang berhubungan dengan pengertian ”yang paling baik, paling bagus”, ialah yang dipandang bagus oleh akal.[40]

3. Hadits dlaif; ”Hadits dlaif dipakai dalam fadlaailul ’amal, sebagai yang telah ditegaskan para ulama”.

Berbicara hadits berkualitas dlaif, telah ditelaah para ahli hadits dengan susah payah. Munzier (2002 : 152 – 171) menjelaskan sbb. : Hadits dlaif dapat ditelusuri pada beberapa aspeknya, yaitu :

(1) Pada sanad; meliputi :

(a) tidak bersambung mencakup : munqathi’(gugur sanadnya), Mu’allaq (rawinya digugurkan seorang atau lebih), Mursal (gugur sanadnya setelah tabi’in), Mu’dhal (gugur dua sanadnya atau lebih, secara berturut-turut), Mudallas (periwatannya diperkirakan tiada bercacat);

(b) tidak terpenuhi syarat adil mencakup : Al-Maudhu’ (dibuat seseorang, pendusta), Matruk (tertuduh dusta) dan Munkar (rawinya lemah);

(c) Tiadanya Dhabit, mencakup : Mudraj (ada redaksi tambahan), Maqlub (lafaz matan tertukar pada seorang perawi), Mudhtharib (satu perawi berbeda periwayatan), Mushahhaf (terjadi perubahan redaksi dan makna), Muharraf (karena perbedaan syakal); dan

(d) Karena kejanggalan dan kecacatan, meliputi : Syadz (perawi maqbul meriwatkan hadits yang bertentangan dengan rawi yang lebih utama), Mu’allal (cacat setelah diteliti).

(2) Pada Matan

(a) Mauquf (hadits yang disandarkan kepada sahabat); dan

(b) Maqthu’ (hadits yang disandarkan kepada para tabi’in).

Oleh karena itu, Ibnu Hajar mengemukakan tiga syarat dalam yang harus ada pada hadits dlaif yang bisa diterima dan diamalkan, yaitu pertama, tingkat kelemahannya tidak parah, orang yang meriwatkannya bukan termasuk pembohong atau tertuduh berbohong, atau kesalahannya banyak. Kedua, tercakup ke dalam dasar hadits yang masih dibenarkan atau tidak bertentangan dengan hadits shahih (yang bisa diamalkan). Ketiga, ketika mengamalkannya tidak seratus persen meyakini bahwa hadits tersebut benar-benar datang dari Nabi saw, tetapi maksud mengamalkannya semata-mata untuk ikhtiyat.[41]

4. Menetapkan ibadat dengan qiyas yang tidak terkendali; Sejatinya qiyas dipergunakan untuk menetapkan hukum yang tidak ada dalam Al-Quran, As-Sunnah, dan Ijma’. Menurut Imam Syafi’i, ”Qiyas dilakukan di kala terpaksa, di kala darurat”. Bahkan Imam Malik tidak mau memakai qiyas.[42]

5. Penguasa (memanfaatkan pengertian ”ulul amri”) menentukan sesuatu ibadat;

Al-Fakhrurrazy yang diikuti An Naisabury menyatakan bahwa ulul amri ialah ahlul halli wal ’aqdi. Kemudian dibahas oleh Al Ustadzl Imaam bahwa ulul amri merupakan jama’ah ahlil halli wal ’aqdi dari orang-orang Islam, yakni jama’ah yang terdiri dari ’umaro, hukkaam, ulama, pemimpin tentara, para kepala jawatan, para pemimpin rakyat dan yang disamakan dengan mereka.[43]

Kesimpulan

Hentakan dunia modern yang lebih bercorak materialis dan hedonis, dapat mengakibatkan keputus-asaan di kalangan umat Islam yang masih hidup di bawah bayang-bayang kemajuan dunia Barat, pembawa peradaban modern. Diakui atau tidak, dalam bidang teknologi modern (industri dan infromatika), umat Islam masih jauh tertinggal kalaupun tidak disebut terbelakang. Sebahagian Umat Islam dewasa ini menggeliat untuk mengembalikan pedoman yang asasi di tengah-tengah peradaban modern yang sarat dengan perubahan di segala bidang. Al-Quran dan Sunnah Nabi saw ditengarai menjadi sebuah solusi atas berbagai ekses yang ditimbulkan oleh perkembangan dunia modern tersebut. Sejatinya, umat Islam dapat hidup sesuai perkembangan zaman dengan tanpa menanggalkan citra dan identitas kemuslimannya yang murni yang sangat sangat sesuai dengan kedua pedomannya itu.

Pengaruh materialis dan hidup hedonis ini telah melanda sebahagian besar umat Islam yang membahayakan eksistensi pengamalan al-Islam dalam hidup dan kehidupannya. Keputus-asaan dan sikap hidup yang hedonis melahirkan manusia yang cenderung memilih perilaku yang ringan, mudah (instant) dan pemodifikasian dalil sesuai seleranya. Pada momen yang tragis, kedua sikap itu mempengaruhi ke dalam sendi-sendi ibadah yang telah nyata-nyata meliki ketetapan hukum yang komplit dari Sunnah dan keterangan pada sahabat, dan ijma’ ulama-ulama shalih. Lahirlah umat Islam yang ingin mendapatkan segala kesenangan dengan cara yang mudah tanpa melihat syari’ahnya. Maka Allah swt bertanya : ”maka ke manakah kamu akan pergi?” (Q.S. At-Takwir : 26).

Pertanyaan mendasar bagi umat Islam dari Dzat yang selama ini diakuinya sebagai tuhannya, namun tidak nampak dari sikap hidupnya. Dzat yang disisihkan oleh hawa nafsu dan kecongkakan perilakunya. Dzat yang hanya dibutuhkan di waktu tertentu. Dzat yang diperlukan namun tidak dita’ati. Dzat yang diyakini akan meminta pertanggungjawabannya, namun tidak menjadi warna kehidupannya. Dzat yang disembah namun tidak sepenuh hati. Dzat yang disembah, namun tidak menggunakan syari’ah Nabi. Aqidahnya tidak mempengaruhi perbuatannya sehari-hari... ”Maka ke manakah kamu akan pergi?” Fasilitas yang Allah swt berikan kepada umat manusia (dalam hal ini umat Islam) bukan tanpa pengawasan dan pertanggungjawaban. Peribadatan yang umat Islam lakukan, tentu bukan tanpa aturan. Allah dan Rasul-NYA telah menjelaskan secara terperinci.

Oleh karena itu, umat Islam yang tidak menghiraukan tata cara peribadatan sesuai dengan petunjuk Nabi saw, mereka adalah manusia yang dapat dinyatakan sebagai manusia yang paling sombong yang menyiratkan ungkapan ”lebih tahu dari Nabinya”. Mereka adalah manusia yang menganggap lebih sempurna peribadatannya dibandingkan dengan manusia yang diagungkan Allah swt, Muhammad Rasulullah saw. Seolah-olah, Nabi saw. tidak sempurna menyampaikan risalahnya. Mereka adalah pengkhianat terbesar terhadap Nabi saw dan umat Islam pengususng risalah al-Islam.

Mudah-mudahan, kita diberikan fikiran dan hati yang lapang untuk bisa menelusuri dan menegakkan risalah suci warisan Nabi. Ya Alloh, lindungilah kami dari petaka fikir dan hati yang menyesatkan langkah hidup di jalan-MU ... Amiin.

وَاللهُ اَعْلَـمُ

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, M. 1999. Pergeseran Pemikiran Hadits. Ijtihad Al-Hakim dalam Menentukan Status Hadits. Jakarta. Paramadina.

Al-’Alawi, Thaha Jabir Fayyadh. 2001. Etika Berbeda Pendapat dalam Islam. Terjemahan Ija Suntana. Bandung. Pustaka Hidayah.

Al-Qur’an dan Terjemahnya. Mujamma’ Al Malik Fahd Li Thiba’at Al- Mush-haf Asy Syarief Medinah Al Munawarah Kerajaan Arab Saudi.

Hafidz, Endang Sirojudin dkk. 2005. Pergulatan Pemikiran Kaum Muda Persis. Bandung. Granada.

Mubarak, Jaih. 2003. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam. Bandung. Remaja Rosdakarya.

Qardhawi, Yusuf. 1994. Metode Memahami As-Sunnah dengan Benar. Jakarta. Media Da’wah.

Sabiq, Sayid. 1981. Unsur-unsur Dinamika Dalam Islam. Alih bahasa Haryono S. Yusuf. Jakarta. Intermasa.

Shiddieqy, M. Hasbi Ash. 1967. Kriteria antara Sunnah dan Bid’ah. Jakarta. Bulan Bintang.

. 1994. Pokok-pokok Ilmu Diroyah Hadits jilid Kedua. Jakarta. Bulan Bintang.

Shihab, M. Quraish. 2007. Sunnah-Syiah bergandengan tangan! Mungkinkah? Tangerang. Lentera Hati.

Suparta, Munzier, 2002. Ilmu Hadis. Jakarta. RajaGrafindo Persada.

Yazid A. Dan Koho, Qasim. 1977. Himpunan Hadits-Hadits Lemah dan Palsu. Surabaya. Bina Ilmu.

- * -



[1] Munzier Suparta, Ilmu Hadits, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2002, halaman 49.

[2] Juinboll, Kontroversi Hadits di Mesir, Bandung, Mizan, 199, halaman 4.

[3] Mujamma’ Al Malik Fahd Li Thiba’at Al Mush-haf, Quran dan Terjemahannya, Kerajaan Arab Saudi, halaman 871.

[4] Zainuddin Hamidy dkk., Terjemahan Shahih Bukhari Jilid I - IV, Jakarta, Bumi Restu, 1992, halaman XII

[5] Munzier, ibid, halaman 1-2.

[6] M. Hasbi Ash Shiddieqy, Kriteria antara Sunnah dan Bid’ah, Jakarta, Bulan Bintang, 1990, hal 29 dan 31

[7] M.Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadits, Jakarta, Paramadina, 1999, halaman 2

[8] M. Quraisy Syihab, Sunnah dan Syi’ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?, Tangerang, Lentera Hati, 2007 halaman 16.

[9] Dudung Abdul Rohman, Pergulatan Pemikiran Kaum Muda PERSIS, Bandung,Granada, 2005, hal. 70.

[10] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2003, halaman 30-31.

[11] Jaih Mubarok, ibid, halaman 32-33.

[12] Jaih Mubarok, ibid, halaman 44.

[13] Jaih Mubarok, ibid, halaman 57.

[14] Jaih Mubarok, ibid, halaman 58.

[15] Jaih Mubarak, Ibid, halaman 67.

[16] Jaih Mubarak, Ibid, halaman 68-69.

[17] Jaih Mubarak, Ibid. halaman 132.

[18] Thaha Jabir Fayyadh al-‘Awani, Etika Berbeda Pendapat dalam Islam, Bandung, 2001, Pustaka Hidayah, halaman 12.

[19] Jaih Mubarak, Ibid, halaman 138.

[20] Thaha Jabir, Ibid, halaman 158.

[21] Jaih Mubarak, lick cit.

[22] M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-pokok Diroyah Hadits II, Jakarta, Bulan Bintang, 1994, halaman 355.

[23] M. Hasbi, Ibid, halaman 357.

[24] Sayid Sabiq, Unsur-unsur Dinamika dalam Islam, Jakarta, Djaya Pirusa, 1981, halaman 16.

[25] Jaih Mubarok, Ibid, halaman 131.

[26] Munzier, Ibid, halaman 91 – 92.

[27] M. Abdurrahman, Ibid, halaman 5.

[28] Yusuf Qardhawi, Metode Memahami as-Sunnah dengan Benar, Jakarta, 1994, Media Da’wah, hal 149.

[29] Yusuf Qardhawi, Ibid, halaman 155.

[30] Yusud Qardhawi, Ibid, halaman 336 – 337.

[31] M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Diroyah, 1994, Jakarta, Bulan Bintang, halaman 379.

[32] A. Yazid dan Qasim Koho, Himpunan hadits-hadits lemah dan palsu, Surabaya, 1977, Bina Ilmu, halaman 8.

[33] M. Hasbi, Ibid, halaman 86 – 87.

[34] M. Hasbi, Ibid, halaman 106 – 107.

[35] M. Hasbi, Ibid, halaman 88

[36] M. Hasbi, Ibid, halaman 90

[37] M. Hasbi, Ibid, halaman 91

[38] M. Hasbi, Ibid, halaman 92

[39] M. Hasbi, Ibid, halaman 93

[40] M. Hasbi, Ibid, halaman 97-98

[41] Munzier Suparta, Ibid, halaman 173.

[42] M. Hasbi, Ibid, halaman 108.

[43] M. Hasbi, Ibid, halaman 110.



Bio data penulis:

Rohidin: Pascasarjana Universitas Islam Bandung; Manajemen Pendidikan Islam; Lulus Tahun 2008.

Aktivitas: Madrasah Karya Madani Cipeundeuy Kabupaten Bandung Barat.